Kalau ada dokter yang tidak meresepkan obat generik ke pasiennya, siapa yang harus menegur, atau berwenang memberi sanksi? Depkes, direktur RS, atau pemda?Istilah obat generik mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Selain harganya yang relatif murah dibandingkan obat yang bermerek (paten), mutunya pun tidak kalah dengan obat paten.
Obat generik biasanya dikonsumsi oleh masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu. Pemerintah pun sudah menetapkan aturan tentang penggunaan obat generik. Namun, secara umum industri obat generik dan obat paten di Indonesia masih tertinggal dibandingkan industri obat luar negeri. Menurut Anggota Komisi IX DPR RI, Prof Dr dr Sudigdo Adi SpKK (K), obat generik kini sudah semua diproduksi di dalam negeri. Hanya saja, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini masih lemah.
Ini, lanjutnya, berbeda dari kondisi di luar negeri. Produsen obat generik sangat gencar melakukan promosi tentang produknya. Biaya untuk promosi itu dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. ''Di sini anggaran untuk promosi obat generik justru malah diturunkan. Akibatnya, promosinya menjadi jelek,'' ujarnya kepada wartawan usai berbicara pada seminar tentang Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Masyarakat, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Promosi dan penelitian
Menurut Sudigdo, anggaran promosi obat generik seharusnya ditingkatkan sehingga masyarakat mengetahui keunggulan dan kelebihannya. Bagi orang awam, diberi obat yang murah barangkali tidak masalah dan bisa menerima. Namun, kalangan intelektual dan kalangan dokter memerlukan evidence (fakta, bukti) dan komparasi dengan obat paten. Artinya, diperlukan juga penelitian dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
''Di sisi lain pemerintah juga tidak menegakkan aturan tentang penggunaan obat generik ini. Padahal itu sudah ada. Political will pemerintah juga sangat dibutuhkan. Berani atau tidak pemerintah dengan harga obat generik tetap tapi keuntungannya digunakan untuk promosi dan penelitian?'' Sudigdo bertanya.
Mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) Sudigdo mengatakan, di Indonesia terdapat sekitar 110 juta masyarakat miskin. Jika 10 persennya membeli obat generik setiap hari seharga Rp 1.000, maka dalam satu hari belanja obatnya mencapai Rp 11 miliar. Jika, keuntungannya 10 persen, maka dalam satu hari tercatat keuntungan sebesar Rp 1,1 miliar. Dengan demikian bisa dihitung keuntungan penjualan obat generik ini dalam satu tahun.
Masalahnya, lanjut Sudigdo, apakah pemerintah mau menyisihkan bagian dari keuntungan itu untuk keperluan penelitian dan promosi. ''Selama 30 tahun orde baru kita tidak pernah mengembangkan penelitian dasar. Itu kelemahan kita. India bisa maju industri obatnya karena mereka mengembangkan penelitian dasar,'' ungkapnya. Akibatnya, lanjut Sudigdo, Indonesia tidak pernah mengembangkan industri hulu di bidang obat. Sehingga hampir semua bahan baku obat diimpor yang tentu saja harga obat menjadi mahal. Padahal, kalau mau pemerintah bisa membuat industri hulu di bidang obat karena bahan bakunya sebenarnya tersedia di sini.
Kewenangan sanksi
Kemandirian dalam industri obat ini, menurutnya, sangat dibutuhkan. Ini agar industri obat dalam negeri bisa maju dan berkembang. ''Awalnya buatan kita mungkin lebih jelek dibandingkan buatan luar negeri. Itu biasa karena baru permulaan. Tapi 10 tahun kemudian pasti kualitasnya akan meningkat. Jadi, kembali ke mentalitas dan political will tadi,'' tandasnya.
Pada kesempatan sama Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Yanfar) Departemen Kesehatan, Krisna Tirta Wijaya, mengemukakan, peraturan tentang penggunaan obat generik bagi dokter sudah ada. Dalam hal ini dokter wajib memberikan obat generik bagi masyarakat kurang mampu. Namun, pihaknya tidak bisa langsung memberikan sanksi jika ada dokter yang melanggarnya. ''Kewenangan memberikan sanksi itu ada pada direktur rumah sakitnya. Ditambah lagi sekarang kan era otonomi daerah di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat diberikan ke daerah,'' ujarnya.
Menurut Krisna, pihaknya sudah melakukan sosialisasi tentang obat generik. Anggaran promosi tahun lalu mencapai Rp 1 miliar. Pada sosialisasi tersebut pihaknya menyampaikan kepada masyarakat untuk meminta obat generik kepada dokter ketika berobat. Di puskemas, lanjutnya, hampir 100 persen obat yang digunakan adalah obat generik. Masalahnya, rumah sakit rujukan puskesmas kadang tidak memakai obat generik. ''Pemerintah menjamin ketersediaan obat generik bagi masyarakat yang tidak mampu. Selama ini memang masih ada yang meragukan mutu obat generik ini. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi sasaran pasar obat generik,'' jelasnya.
Presiden Direktur PT Indofarma Tbk, M Dani Pratomo, menyatakan kelemahan kita selama ini adalah tidak melakukan penelitian dasar. Padahal, itu sangat penting untuk pengembangan obat dalam negeri. Akibatnya, bahan baku pembuatan masih diimpor, dan ini yang membuat harga obat menjadi mahal. ''Tapi ke depan kami akan lebih kreatif lagi. Obat generik saat ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga sudah menyangkut aspek ketahanan nasional,'' ujarnya.
Kendala di Lapangan
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Azrul Azwar, mengemukakan, upaya menggalakkan penggunaan obat esensial generik di Indonesia telah dimulai sejak 1989. Yaitu, ketika SK Menkes Nomor 85 Tahun 1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di fasilitas kesehatan pemerintah ditetapkan.
Untuk lebih mendukung penggunaan obat esensial generik tersebut beberapa ketentuan lainnya juga dikeluarkan, seperti SK Menkes Nomor 988 Tahun 2004 tentang pencantuman nama generik pada label obat dan SK Menkes Nomor 12 Tahun 2005 tentang harga jual obat generik.''Ketentuan tentang produksi obat generik melalui cara pembuatan obat yang baik (CPOB) serta promosi penggunaan obat generik juga telah mendapatkan pengaturan. Dengan adanya berbagai peraturan ini diharapkan penggunaan obat-obat generik di pelayanan kesehatan akan lebih meningkat,'' kata Azrul pada seminar Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Azrul menyatakan, untuk mendukung penggunaan obat generik di pelayanan kesehatan primer pemerintah telah mewajibkan apotek dan toko obat yang ada di kabupaten/kota menyediakan obat esensial dengan nama generik. Dinas kesehatan kabupaten/kota, sebagai penanggung jawab kesehatan di wilayah, juga diimbau untuk membuat kebijakan penggunaan obat generik sehingga dapat diterima dan diterapkan oleh sarana pelayanan kesehatan swasta.
Menurutnya, bila kebijakan pemakaian obat generik dapat diterapkan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh. Antara lain dapat menghemat biaya berobat. ''Dibandingkan dengan obat paten, harga obat generik 20 - 60 persen lebih murah. Sementara khasiat obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena zat yang terkandung di dalamnya sama dengan obat paten,'' imbuhnya.
Namun pada praktiknya, ujar Azrul, penggunaan obat generik ini masih menghadapi banyak kendala. Di antaranya, masih ada anggota masyarakat enggan menggunakan obat generik karena menganggap sebagai obat murah, tidak bermutu, dan kurang efektif dibanding obat paten. Selain itu, juga masih ditemukan kalangan dokter enggan memberikan obat generik karena menganggap tidak bermutu dan kurang efektif dibanding obat paten. ''Kampanye obat esensial dengan nama generik memang tidak segalak kampanye obat berlogo atau obat paten. Tidak heran jika masih ditemukan sebagain anggota masyarakat dan dokter yang belum dapat menerima obat generik ini,'' ungkapnya.
( jar )
Sumber:
http://www.republika.co.id/, dalam :
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1110347915,99818,
10 Maret 2005
0 comments:
Posting Komentar