Infolinks In Text Ads
den ger
SISTEM DISTRIBUSI OBAT UNTUK PENDERITA RAWAT INAP
I. LATAR BELAKANG
Penyampaian obat dari apoteker ke pasien adalah bagian terakhir distribusi obat. Di apotek, proses penyampaian ini dapat dilakukan langsung dari apoteker ke pasien. Namun, hal ini tidak dapat terjadi di rumah sakit terhadap pasien rawat inap karena jarak yang jauh antara penderita yang berada di ruangan dan apoteker yang ada di instalasi farmasi. Selain itu, masih ada perawat yang bertanggung jawab menerima dan melaksanakan konsumsi obat untuk pasien.
IFRS bertanggung jawab pada penggunaan obat yang aman di rumah sakit. Tanggung jawab ini meliputi seleksi, pengadaan, penyimpanan, penyiapan obat untuk dikonsumsi dan distribusi obat ke daerah perawatan penderita. Berkaitan dengan tanggung jawab penyampaian dan distribusi obat dari IFRS ke daerah perawatan pasien maka dibuat sistem distribusi obat.
Sistem distribusi obat adalah suatu proses penyerahan obat sejak setelah sediaan disiapkan oleh IFRS, dihantarkan kepada perawat, dokter atau profesional pelayanan kesehatan lain untuk diberikan kepada penderita. Sistem pendistribusian obat yang dibuat harus mempertimbangkan efisiensi penggunaan sarana, personel, waktu dan mencegah kesalahan atau kekeliruan. Sistem ini melibatkan sejumlah prosedur, personel dan fasilitas.
Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat dan informasinya kepada penderita. Sistem distribusi obat di rumah sakit mencakup penghantaran sediaan obat yang telah didispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu, metode pemberian, keutuhan mutu obat dan ketepatan personel pemberi obat.
Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif harus dapat memenuhi hal-hal berikut :
1. Ketersediaan obat yang tetap terpelihara.
2. Mutu dan kondisi obat/ sediaan obat tetap stabil selama proses distribusi.
3. Meminimalkan kesalahan obat dan memaksimalkan keamanan pada penderita.
4. Meminimalkan obat yang rusak atau kadaluwarsa.
5. Efisiensi penggunaan SDM.
6. Meminimalkan pencurian dan atau kehilangan obat.
7. IFRS mempunyai semua akses dalam semua tahap proses distribusi untuk pengendalian pengawasan dan penerapan pelayanan farmasi klinik.
8. Terjadinya interaksi profesional antara apoteker, dokter, perawat, dan penderita.
9. Meminimalkan pemborosan dan penyalahgunaan obat.
10. Harga terkendali.
11. Peningkatan penggunaan obat yang rasional.
Sistem transpor obat dari IFRS ke penderita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Produk obat harus terlindung dari kerusakan dan pencurian selama proses transportasi.
2. Sistem transpor tidak merusak atau memperlambat penyampaian obat ke penderita.
3. Dalam sistem transpor, pengecekan obat dilakukan sebelum obat dibawa dari IFRS, periksa kecocokan jenis obat dan kuantitasnya dengan resep. Lakukan pemeriksaan ulang saat obat tiba dan diterima di unit perawat.
4. Prosedur dari IFRS ke daerah penderita harus terdokumentasi.
II. SISTEM DISTRIBUSI OBAT
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
III. Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
2. Sistem Pelayanan Terbagi (Desentralisasi)
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi.
Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat di satelit farmasi :
Dispensing dosis awal padapermintaan baru dan larutan intravena tanpa tambahan (intravenous solution without additives).
Mendistribusikan i. v. admikstur yang disiapkan oleh farmasi sentral.
Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication dministration record (MAR).
Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.
Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.
Ruang lingkup kegiatan pelayanan depo farmasi adalah sebagai berikut :
a) Pengelolaan perbekalan farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi bertujuan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi dalam jumlah dan jenis yang tepat dan dalam keadaan siap pakai pada waktu dibutuhkan oleh pasien, dengan biaya yang seefisien mungkin. Pengelolaan barang farmasi terbagi atas :
1. Pengelolaan barang farmasi dasar (BFD)
Barang farmasi dasar meliputi obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari sub instalasi perbekalan farmasi.
2. Pengelolaan barang farmasi non dasar (BFND)
Depo farmasi melakukan pengelolaan BFND mulai dari penerimaan sampai dengan pendistribusian. Perencanaan BFND tidak dilakukan melalui depo farmasi.
Kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi, meliputi :
a. Perencanaan
Perencanaan bertujuan untuk menyusun kebutuhan perbekalan farmasi yang tepat sesuai kebutuhan, mencegah terjadinya kekosongan / kekurangan barang farmasi , mendukung / meningkatkan penggunaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien.
b. Pengadaan
Pengadaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi yang berkualitas berdasarkan fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan.
c. Penerimaan
Penerimaan bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi yang berkualitas sesuai kebutuhan.
d. Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk menjaga agar mutu perbekalan farmasi tetap terjamin, menjamin kemudahan mencari perbekalan farmasi dengan cepat pada waktu dibutuhkan untuk mencegah kehilangan perbekalan farmasi.
e. Pendistribusian
Pendistribusian bertujuan untuk memberikan perbekalan farmasi yang tepat dan aman pada waktu dibutuhkan oleh pasien.
b) Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk menjamin kemanjuran, keamanan dan efisiensi penggunaan obat serta dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik pada satelit farmasi ialah :
i. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).
ii. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition (TPN) dan terapi antineoplastik.
iii. Menyiapkan dosis farmakokinetik.
iv. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih.
v. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien.
vi. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat.
Kegiatan yang dilakukan yaitu monitoring pengobatan pasien untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat yang rasional.
c.) Administrasi
Kegiatan administrasi berupa stock opname perbekalan farmasi, pencatatan perbekalan farmasi yang rusak/tidak sesuai dengan aturan kefarmasian, pelaporan pelayanan perbekalan farmasi dasar, pelaporan pelayanan distribusi perbekalan farmasi dan pelaporan pelayanan farmasi klinik.
Keuntungan dari penerapan metode desentralisasi diantaranya sebagai berikut :
Penyediaan obat pesanan atau permintaan dapat dipenuhi dengan waktu yang lebih singkat.
Komunikasi langsung yang terjadi antara farmasis, dokter, dan perawat.
Farmasis dapat langsung memberikan informasi mengenai obat yang dibutuhkan oleh dokter dan perawat.
Pelayanan farmasi klinik.
Penurunan waktu keterlibatan perawaran dalam distribusi obat.
IV. Sistem Distribusi Obat Bagi Pasien Rawat Inap
1. Sistem Distribusi Obat Resep Individual
Resep individual adalah order atau resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order/ resep tersebut yang disiapkan dan didistribusikan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) sentral.
Sistem distribusi obat resep individual adalah tatanan kegiatan pengantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order/resep atas nama penderita rawat tinggal tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Dalam sistem ini obat diberikan kepada pasien berdasarkan resep yang ditulis oleh dokter.
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep orisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.
Sistem ini mirip dengan dispensing untuk pasien rawat jalan /outpatient. Interval dispensing pada sistem ini dapat dibatasi misalnya, pengobatan pasien untuk seorang pasien untuk 3 hari telah dikirim jika terapi berlanjut sampai lebih dari 3 hari, tempat obat yang kosong kembali ke IFRS untuk di-refill. Biasanya obat yang disediakan oleh IFRS dalam bentuk persediaan misalnya untuk 2-5 hari.
Keuntungan sistem obat resep individual:
1. Semua resep / order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita.
2. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien
3. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan
4. Mempermudah penagihan biaya obat penderita
Keterbatasan sistem distribusi obat resep individual
1. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita
2. Jumlah kebutuhan personal IFRS meningkat
3. Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat
4. Terjadinya kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada waktu konsumsi obat.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini biasanya digunakan di rumah sakit-rumah sakit kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuai dalam penerapan keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien secara individual.
2. SISTEM DISTRIBUSI OBAT PERSEDIAAN LENGKAP DI RUANG (TOTAL FLOOR STOCK)
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang penyimpanan obat di ruang tersebut. Persediaan obat diruang dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya obat.
Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan PFT dan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan antiseptic dan obat tidur.
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada resep obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu.
Keuntungan
1. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien
2. Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS
3. Pengurangan penyalinan kembali resep obat
4. Pengurangan jumlah personel IFRS
Keterbatasan
1. Kesalahan obat sangat meningkat karena resep obat tidak dikaji langsung oleh apoteker
2. Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas
3. Pencurian obat meningkat
4. Meningkatnya bahaya karena kerusakan
5. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyiapan obat yang sesuai di setiap daerah unit perawatan pasien
6. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat
7. Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat
Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep kemudian diberikan kepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat menyiapkan semua obat yang diperlukan dari persediaan obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepada pasien, termasuk pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan oleh instalasi farmasi.
3. SISTEM DISTRIBUSI OBAT KOMBINASI RESEP INDIVIDUAL DAN PERSEDIAAN DI RUANG
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan sistem distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Sistem ini merupakan perpaduan sistem distribusi obat resep individual berdasarkan permintaan dokter yang disiapkan dan distribusikan oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi siapkan dari persediaan obat yang terdapat di ruangan perawatan pasien. Obat yang disediakan di ruangan perawatan pasien merupakan obat yang sering diperlukan oleh banyak pasien, setiap hari diperlukan dan harga obat relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. Jenis dan jumlah obat yang masuk dalam persediaan obat di ruangan, ditetapkan oleh PFT dengan pertimbangan dan masukan dari IFRS dan Bagian Pelayanan Keperawatan. Sistem kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Keuntungan
1. Semua resep / order individual dikaji langsung oleh apoteker
2. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-penderita
3. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita (obat persediaan di ruang)
4. Beban IFRS dapat berkurang
5. Mengurangi terjadinya kesalahan terapi obat
Keterbatasan
II. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat resep individual)
III. Kesalahan obat pemberian obat yang disiapkan dari persediaan ruang dapat terjadi.
IV. Membutuhkan tempat yang cukup untuk tempat penyimpanan obat
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalian oleh apoteker dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obat kemudian diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat. Pengendalian obat yang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepada pasien oleh perawat.
V. SISTEM DISTRIBUSI OBAT DOSIS UNIT
Sistem ini mulai diperkenalkan sejak 20 tahun yang lalu, namun penerapannya masih lambat karena memerlukan biaya awal yang besar dan juga memerlukan peningkatan jumlah apoteker yang besar. Padahal ada dua kegunaan utama dari sistem ini, yaitu mengurangi kesalahan obat dan mengurangi keterlibatan perawat dalam penyiapan obat.
Istilah “dosis unit “ berkaitan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan kemasan itu. Obat dosis unit adalah obat yang disorder oleh dokter untuk penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Penderita hanya membayar obat yang dikonsumsi saja.
Distribusi obat dosis unit adalah tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dengan kerjasama dengan staf medic, perawat, pimpinan rumah sakit dan staf administrative. Maka diperlukan suatu panitia perencana untuk mengembangkan sistem ini yang sebaliknya dipimpin oleh apoteker yang menjelaskan tentang konsep sistem ini.
Sistem distribusi dosis unit merupakan metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk, tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit. Dasar dari semua sistem dosis unit adalah obat dikandung dalam kemasan unit tunggal di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi; dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan kea tau tersedia pada ruang perawatan pada setiap waktu.
Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam, yaitu :
1. Sentralisasi
Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah perawatan penderita.
Gambar 4. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Sentralisasi
2. Desentralisasi
Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya sistem ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral.
Gambar 5. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Desentralisasi
3. Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Keuntungan
1. Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar hanya obat yang dikonsumsi saja
2. Semua dosis yang diperlukan pada pada unit perawat telah disiapkan oleh IFRS. Jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk perawatan langsung penderita.
3. Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/ dokter dan membuat profil pengobatan penderita (p3) oleh apoteker dan perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsi. Dengan kata lain, sistem ini mengurangi kesalahan obat
4. Peniadaan duplikasi order obat yang berlebihan dan pengurangan pekerjaan menulis di unit perawatan dan IFRS
5. Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita
6. Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS
7. Meningkatkan penggunaan personal professional dan nonprofessional yang lebih efisien
8. Mengurangi kehilangan pendapatan
9. Menghemat ruangan di unit perawatan dengan meniadakan persediaan ruah obat-obatan
10. Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
11. Memerlukan cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara keseluruhan sejak dari dokter menulis resep / order sampai penderita menerima dosis unit
12. Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi pada penderita. Hal ini mengurangi kesempatan salah obat juga membantu daalam penelusuran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat
13. Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik
14. Apoteker dapat dating ke unit perawat/ ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan yang lebih baik lagi.
15. Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
16. pening katan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat menyeluruh
17. pengendalian yang lebih besar oelh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf
18. penyesuaian yang lebih besar untuk prosedur komputerisasi dan otomastisasi
V. ALUR DISTRIBUSI OBAT DESENTRALISASI
Faktor-faktor yang menjadi dasar untuk mengadakan pelayanan :
a. Kebutuhan pasien
Penggunaan obat di rumah sakit dapat mempengaruhi keadaan pasien, ketidaktepatan penggunaan antibiotic, mencakup ketidaktepatan dosis, interaksi obat yang merugikan, duplikasi penggunaan, kombinasi antagonis, dan ketidaktepatan durasi penggunaan. Dalam hal ini pasien adalah objek yang paling merasakan dampak negaatif dari ketidaksesuaian pemberian obat tersebut. Sistem distribusi obat sentralisasi untuk pasien rawat inap yang dispensing dari IFRS sentral, seringkali mengakibatkan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien.
b. Kebutuhan perawat
Perawat memiliki peranan penting dalam sistem distribusi obat di rumah sakit. Perawat dapat mengorder obat dari IFRS, menyiapkan dan merekonstitusi dosis untuk konsumsi, pemberian obat, merekam tiap obat yang dikonsumsi, juga memelihara rekaman obat yang terkendali yang diterima dan digunakan serta memelihara persediaan obat diruang.
Pelayanan IFRS sentralisai di rumah sakit seringkali menimbulkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan obat dan dukungan informasi obat kepada perawat jika diperlukan. Sistem distribusi obat untuk penderita rawat tinggal menggunakan efisiensi perawat dibandingkan dengan sistem distribusi obat sentralisasi.
c. Kebutuhan dokter
Dokter mendiagnosis masalah medikbagi pasien dan menulis suatu rencana terapi. Komplikasi obat menggambaarkan kebutuhan dokter akan informasi umum obat dan informasi klinik obat tertentu. Apoteker yang praktek ditempat perawatan dapat memberi pengetahuan dan pengalaman klinik obat untuk membantu dokter mengelola terapi obat penderita mereka.
d. Kebutuhan apoteker
Tugas apoteker dalam suatu sistem distribusi obat sentralisai mungkin disdominasi oleh tugas menyiapkan, dispensing, dan memberikan partisipasi minimal dalam pelayanan klinikdalam lingkup minimal, tidak melayani secara memadai atau tidak memenuhi kebutuhan pasien, dokter dan perawat yang berkaitan dengan obat.
Dalam lingkungan desentralisasi, apoteker dapat menghubungkan secara langsung, kebutuhan terapi obat pasien sebagai hasil dari berbagai kemudahan pencapaian pasien, perawat, dokter dan rekaman medic. Apoteker dapat mengembangkan keahlian dalam perawatan pasien tertentu. Dengan demikian pengalaman apoteker dalam terapi pasien dapat bertambah.
VI. Pelayanan dan Manfaat yang Diharapkan Penderita dari IFRS Desentralisasi
Karakteristik praktek farmasi klinik apoteker dalam suatu IFRS desentralisasi :
Kunjungan ke ruang perawatan penderita
Apoteker menyertai dokter dalam kunjungan pendidikan ke ruang perawatan. Partisipasi tersebut adalah dalam rangka memberikan informasi obat agar diperoleh rencana pengobatan yang lebih baik.
Wawancara penderita
Informasi sejarah obat penderita diperoleh secara lisan oleh apoteker untuk melengkapi rekaman IFRS. Masalah terapi obat pada pasien dapat diidentifikasi, demikian juga obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pemantauan Terapi Obat Penderita
Proses pemantauan terapi obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pertanyaan dokter
Pertanyaan dari dokter tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Pertanyaan perawat
Pertanyaan dari perawat tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Informasi obat
Dokter membutuhkan informasi obat yang berdasarkan penelitian dari pustaka informasi yang tersedia untuk melayani pertanyaan tersebut.
Pelayanan terapi obat yang diatur apoteker
Apoteker mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terapi obat tertentu atas permintaan dokter, pelayanan demikian akan menghasilkan terapi obat yang lebih aman, spesifik dan efektif.
Farmakokinetik
Keberhasilan penerapan pelayanan farmakokinetik klinik dapat atau tidak membutuhkan keberadaan secara fisik suatu laboratorium farmakokinetik yang dikendalikan oleh IFRS. Hal ini bukan berarti apoteker tidak mampu memberikan pelayanan informasi secara farmakokinetik.
Evaluasi penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan obat adalah suatu proses jaminan mutu yang disahkan rumah sakit, dilakukan terus menerus, terstruktur, ditujukan guna memastikan bahwa pemberian obat diberikan secara aman dan efektif.
Tanggungjawab farmasis dalam kaitannya distribusi obat di satelit farmasi :
1. Dispensing dosis awal pada permintaan baru dan larutan intravena.
2. Mendistribusikan I. V admixture yang disiapkan oleh farmasis sentral
3. Memeriksa permintaan obat dengan melihat Medication Administration Records (MAR)
4. Menulis nama generic obat di MAR
5. Memecah masalah yang berkaitan dengan distribusi
Keuntungan
1. Obat dapat segera tersedia untuk diberikan kepada pasien
2. Pengendalian obat dan akuntabilitas semua baik
3. Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat
4. Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat berpeluang diterapkan untuk penyerahan obat kepada pasien melalui perawat
5. Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan pasien dan dapat berbicara dengan penderita secara efisien
6. Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan perawat
7. Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan pasien berkurang, karena tugas ini telah diambil alih oleh personel IFRS desentralisasi
8. Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan pasien lebih efektif sebagai hasil pengalaman klinik terfokus
9. Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara efisien, misalnya pengaturan suatu terapi obat penderita khusus yang diminta dokter, heparin dan antikoagulan oral, digoksin, aminofilin, aminoglikosida dan dukungan nutrisi
10. Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik dan studi usemen mutu terapi obat pasien
Keterbatasan
1. Semua apoteker klinik harus cakap sebagai penyedia untuk bekerja secara efektif dengan asisten apoteker dan teknisi lain
2. Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan, distribusi dan pelayanan klinik. Waktu yang mereka gunakan dalam kegiatan yang bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan asisten apoteker yang bermutu dan kemampuan teknisi tersebut untuk secara efektif mengorganisasikan waktu guna memenuhi tanggungjawab mereka
3. Pengendalian inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena likasi IFRS cabang yang banyak untuk obat yang sama, terutama untuk obat yang jarang ditulis.
4. Komunikasi langsung dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktek dalam lokasi fisik yang banyak
5. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan (pustaka) informasi obat, laminar air flow, lemari pendingin, rak obat, dan alat untuk meracik
6. Jumlah dan keakutan pasien menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personal dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil
VII. PERENCANAAN SUATU SISTEM DISTRIBUSI OBAT BAGI PENDERITA RAWAT TINGGAL
Perencanaan suatu sistem distribusi obat bagi penderita rawat tinggal di suatu rumah sakit dilakukan oleh PFT, IFRS, perawat dan unit lain jika diperlukan. Tim yang dibentuk mengadakan peninjauan luas dari semua sistem distribusi obat yang ada dan kondisi rumah sakit. Tim mempelajari keuntungan dan keterbatasan suatu sistem distribusi obat berkaitan dengan kondisi rumah sakit secara menyeluruh. Kemudan tim memilih salah satu dari sistem distribusi obat untuk selanjutnya dilakukan studi penerapan sistem distribusi obat yang dipilih itu lebih mendalam.
Desain sistem distribusi
Mendesain suatu sistem distribusi obat di rumah sakit memerlukan analisis sistematik dari rasio manfaat-biaya dan perencanaan operasional. setelah sistem diterapkan, pemantauan unjuk kerja dari evaluasi mutu pelayanan tetap diperlukan untuk memastikan bahwa sistem berfungsi sesuai dengan harapan.
Dalam mendesain atau mendesain kembali suatu sistem distribusi obat, perlu dilakukan beberapa tahapan penting :
1. Menetapkan lokasi dan jumlah semua ruangan perawatan penderita dan buat petanya. dalam hal ini, perlu dipertimbangkan faktor-faktor sesperti faktor geografis, tata ruang, populasi penderita, ketersediaan ruangan penyimpanan obat, ruangan pelayanan obat penderita, ketersediaan staf, fasilitas transpor obat dari IFRS ke tiap ruangan penderita, hambatan politik, dan hambatan sumber lain.
2. Memilih suatu metode mendistribusikan obat ke unit pengguna.
3. Mengembangkan perangkat rute penghantaran yang mungkin dan ekonomis, serta menyusun suatu jadwal penghantaran yang praktis melayani tiap rute tersebut.
Perencanaan spesifikasi
Proses mendesain suatu sistem distribusi obat, mencakup :menerjemahkan kebutuhan konsumen (penderita dan staf profesional pelayanan kesehatan) menjadi spesifikasi pelayanan obat, spesifikasi penghantaran pelayanan obat, dan spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat.
Spesifikasi pelayanan obat
Spesifikasi pelayanan obat dengan menetapkan pelayanan yang diberikan. Spesifikasi pelayanan obat harus mengandung suatu pernyataan yang lengkap dan tepat dari pelayanan yang diberikan, meliputi :
1. suatu uraian yang jelas dari karakteristik pelayanan yang menjadi sasaran evaluasi.
2. suatu standar untuk penerimaan dari tiap karakteristik pelayanan.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat menetapkan sarana dam metode yang digunakan untuk menghantarkan pelayanan obat.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat harus mengandung :
1. prosedur penghantaran pelayanan
2. metode yang digunakan dalam proses penghantaran pelayanan
3. uraian dari karakteristik penghantaran pelayanan
4. standar untuk penerimaan dari karakteristik penghantaran pelayanan
5. persyaratan sumber untuk memenuhi spesifikasi pelayanan
6. persyaratan personel, jumlah, dan keterampilan.
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat menetapkan prosedur untuk mengevaluasi dan mengendalikan karakteristik pelayanan dan karakteristik penghantaran pelayanan. Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat harus memungkinkan pengendalian yang efektif dari tiap proses pelayanan untuk memastikan bahwa pelayanan secara konsisten memuaskan spesifikasi pelayanan dan konsumen.
Desain pengendalian mutu dan pelayanan obat :
1. mengidentifikasi kegiatan kunci dari tiap proses yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap mutu pelayanan.
2. menganalisis kegiatan, dengan mengukur dan pengendalian akan memastikan mutu pelayanan.
3. menetapkan metode untuk mengevaluasi karakteristik yang dipilih.
4. menetapkan sarana untuk mengendalikan karakteristik dalam batas yang ditetapkan.
VIII. PELAKSANAAN PROGRAM PERCOBAAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT YANG DIPILIH
Untuk pelaksanaan program percobaan sistem distribusi obat, biasanya untuk tahap pertama dilakukan dala 1 atau lebih daerah perawatan penderita selama waktu tertentu dan secra terus menerus dipantau, dievaluasi, dan dilakukan tindakan perbaikan. Jika tahap pertama mulai mantap, percobaan diteruskan dengan menambah daerah perawatan tertentu lainnya atau keseluruahan rumah sakit. Percobaan ini dilakukan dalam waktu yang lebih lama, karena pada tahap ini diadakan pematangan terhadap semua prosedur, spesifikasi, perbaikan, dan evaluasi karakteristik pelayanan dan penghantaran pelayanan obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar, C.J.P. Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan. 2003. Jakarta: EGC.
2. Wolff, J.A., Cashman, R., Kweekeh, F.A., Managing Drug Supply 2nd ed. 1997. Connecticut, USA : Kumarian Press.
I. LATAR BELAKANG
Penyampaian obat dari apoteker ke pasien adalah bagian terakhir distribusi obat. Di apotek, proses penyampaian ini dapat dilakukan langsung dari apoteker ke pasien. Namun, hal ini tidak dapat terjadi di rumah sakit terhadap pasien rawat inap karena jarak yang jauh antara penderita yang berada di ruangan dan apoteker yang ada di instalasi farmasi. Selain itu, masih ada perawat yang bertanggung jawab menerima dan melaksanakan konsumsi obat untuk pasien.
IFRS bertanggung jawab pada penggunaan obat yang aman di rumah sakit. Tanggung jawab ini meliputi seleksi, pengadaan, penyimpanan, penyiapan obat untuk dikonsumsi dan distribusi obat ke daerah perawatan penderita. Berkaitan dengan tanggung jawab penyampaian dan distribusi obat dari IFRS ke daerah perawatan pasien maka dibuat sistem distribusi obat.
Sistem distribusi obat adalah suatu proses penyerahan obat sejak setelah sediaan disiapkan oleh IFRS, dihantarkan kepada perawat, dokter atau profesional pelayanan kesehatan lain untuk diberikan kepada penderita. Sistem pendistribusian obat yang dibuat harus mempertimbangkan efisiensi penggunaan sarana, personel, waktu dan mencegah kesalahan atau kekeliruan. Sistem ini melibatkan sejumlah prosedur, personel dan fasilitas.
Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat dan informasinya kepada penderita. Sistem distribusi obat di rumah sakit mencakup penghantaran sediaan obat yang telah didispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu, metode pemberian, keutuhan mutu obat dan ketepatan personel pemberi obat.
Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif harus dapat memenuhi hal-hal berikut :
1. Ketersediaan obat yang tetap terpelihara.
2. Mutu dan kondisi obat/ sediaan obat tetap stabil selama proses distribusi.
3. Meminimalkan kesalahan obat dan memaksimalkan keamanan pada penderita.
4. Meminimalkan obat yang rusak atau kadaluwarsa.
5. Efisiensi penggunaan SDM.
6. Meminimalkan pencurian dan atau kehilangan obat.
7. IFRS mempunyai semua akses dalam semua tahap proses distribusi untuk pengendalian pengawasan dan penerapan pelayanan farmasi klinik.
8. Terjadinya interaksi profesional antara apoteker, dokter, perawat, dan penderita.
9. Meminimalkan pemborosan dan penyalahgunaan obat.
10. Harga terkendali.
11. Peningkatan penggunaan obat yang rasional.
Sistem transpor obat dari IFRS ke penderita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Produk obat harus terlindung dari kerusakan dan pencurian selama proses transportasi.
2. Sistem transpor tidak merusak atau memperlambat penyampaian obat ke penderita.
3. Dalam sistem transpor, pengecekan obat dilakukan sebelum obat dibawa dari IFRS, periksa kecocokan jenis obat dan kuantitasnya dengan resep. Lakukan pemeriksaan ulang saat obat tiba dan diterima di unit perawat.
4. Prosedur dari IFRS ke daerah penderita harus terdokumentasi.
II. SISTEM DISTRIBUSI OBAT
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
III. Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
2. Sistem Pelayanan Terbagi (Desentralisasi)
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi.
Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat di satelit farmasi :
Dispensing dosis awal padapermintaan baru dan larutan intravena tanpa tambahan (intravenous solution without additives).
Mendistribusikan i. v. admikstur yang disiapkan oleh farmasi sentral.
Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication dministration record (MAR).
Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.
Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.
Ruang lingkup kegiatan pelayanan depo farmasi adalah sebagai berikut :
a) Pengelolaan perbekalan farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi bertujuan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi dalam jumlah dan jenis yang tepat dan dalam keadaan siap pakai pada waktu dibutuhkan oleh pasien, dengan biaya yang seefisien mungkin. Pengelolaan barang farmasi terbagi atas :
1. Pengelolaan barang farmasi dasar (BFD)
Barang farmasi dasar meliputi obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari sub instalasi perbekalan farmasi.
2. Pengelolaan barang farmasi non dasar (BFND)
Depo farmasi melakukan pengelolaan BFND mulai dari penerimaan sampai dengan pendistribusian. Perencanaan BFND tidak dilakukan melalui depo farmasi.
Kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi, meliputi :
a. Perencanaan
Perencanaan bertujuan untuk menyusun kebutuhan perbekalan farmasi yang tepat sesuai kebutuhan, mencegah terjadinya kekosongan / kekurangan barang farmasi , mendukung / meningkatkan penggunaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien.
b. Pengadaan
Pengadaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi yang berkualitas berdasarkan fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan.
c. Penerimaan
Penerimaan bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi yang berkualitas sesuai kebutuhan.
d. Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk menjaga agar mutu perbekalan farmasi tetap terjamin, menjamin kemudahan mencari perbekalan farmasi dengan cepat pada waktu dibutuhkan untuk mencegah kehilangan perbekalan farmasi.
e. Pendistribusian
Pendistribusian bertujuan untuk memberikan perbekalan farmasi yang tepat dan aman pada waktu dibutuhkan oleh pasien.
b) Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk menjamin kemanjuran, keamanan dan efisiensi penggunaan obat serta dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik pada satelit farmasi ialah :
i. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).
ii. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition (TPN) dan terapi antineoplastik.
iii. Menyiapkan dosis farmakokinetik.
iv. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih.
v. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien.
vi. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat.
Kegiatan yang dilakukan yaitu monitoring pengobatan pasien untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat yang rasional.
c.) Administrasi
Kegiatan administrasi berupa stock opname perbekalan farmasi, pencatatan perbekalan farmasi yang rusak/tidak sesuai dengan aturan kefarmasian, pelaporan pelayanan perbekalan farmasi dasar, pelaporan pelayanan distribusi perbekalan farmasi dan pelaporan pelayanan farmasi klinik.
Keuntungan dari penerapan metode desentralisasi diantaranya sebagai berikut :
Penyediaan obat pesanan atau permintaan dapat dipenuhi dengan waktu yang lebih singkat.
Komunikasi langsung yang terjadi antara farmasis, dokter, dan perawat.
Farmasis dapat langsung memberikan informasi mengenai obat yang dibutuhkan oleh dokter dan perawat.
Pelayanan farmasi klinik.
Penurunan waktu keterlibatan perawaran dalam distribusi obat.
IV. Sistem Distribusi Obat Bagi Pasien Rawat Inap
1. Sistem Distribusi Obat Resep Individual
Resep individual adalah order atau resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order/ resep tersebut yang disiapkan dan didistribusikan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) sentral.
Sistem distribusi obat resep individual adalah tatanan kegiatan pengantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order/resep atas nama penderita rawat tinggal tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Dalam sistem ini obat diberikan kepada pasien berdasarkan resep yang ditulis oleh dokter.
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep orisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.
Sistem ini mirip dengan dispensing untuk pasien rawat jalan /outpatient. Interval dispensing pada sistem ini dapat dibatasi misalnya, pengobatan pasien untuk seorang pasien untuk 3 hari telah dikirim jika terapi berlanjut sampai lebih dari 3 hari, tempat obat yang kosong kembali ke IFRS untuk di-refill. Biasanya obat yang disediakan oleh IFRS dalam bentuk persediaan misalnya untuk 2-5 hari.
Keuntungan sistem obat resep individual:
1. Semua resep / order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita.
2. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien
3. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan
4. Mempermudah penagihan biaya obat penderita
Keterbatasan sistem distribusi obat resep individual
1. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita
2. Jumlah kebutuhan personal IFRS meningkat
3. Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat
4. Terjadinya kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada waktu konsumsi obat.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini biasanya digunakan di rumah sakit-rumah sakit kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuai dalam penerapan keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien secara individual.
2. SISTEM DISTRIBUSI OBAT PERSEDIAAN LENGKAP DI RUANG (TOTAL FLOOR STOCK)
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang penyimpanan obat di ruang tersebut. Persediaan obat diruang dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya obat.
Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan PFT dan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan antiseptic dan obat tidur.
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada resep obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu.
Keuntungan
1. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien
2. Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS
3. Pengurangan penyalinan kembali resep obat
4. Pengurangan jumlah personel IFRS
Keterbatasan
1. Kesalahan obat sangat meningkat karena resep obat tidak dikaji langsung oleh apoteker
2. Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas
3. Pencurian obat meningkat
4. Meningkatnya bahaya karena kerusakan
5. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyiapan obat yang sesuai di setiap daerah unit perawatan pasien
6. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat
7. Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat
Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep kemudian diberikan kepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat menyiapkan semua obat yang diperlukan dari persediaan obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepada pasien, termasuk pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan oleh instalasi farmasi.
3. SISTEM DISTRIBUSI OBAT KOMBINASI RESEP INDIVIDUAL DAN PERSEDIAAN DI RUANG
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan sistem distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Sistem ini merupakan perpaduan sistem distribusi obat resep individual berdasarkan permintaan dokter yang disiapkan dan distribusikan oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi siapkan dari persediaan obat yang terdapat di ruangan perawatan pasien. Obat yang disediakan di ruangan perawatan pasien merupakan obat yang sering diperlukan oleh banyak pasien, setiap hari diperlukan dan harga obat relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. Jenis dan jumlah obat yang masuk dalam persediaan obat di ruangan, ditetapkan oleh PFT dengan pertimbangan dan masukan dari IFRS dan Bagian Pelayanan Keperawatan. Sistem kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Keuntungan
1. Semua resep / order individual dikaji langsung oleh apoteker
2. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-penderita
3. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita (obat persediaan di ruang)
4. Beban IFRS dapat berkurang
5. Mengurangi terjadinya kesalahan terapi obat
Keterbatasan
II. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat resep individual)
III. Kesalahan obat pemberian obat yang disiapkan dari persediaan ruang dapat terjadi.
IV. Membutuhkan tempat yang cukup untuk tempat penyimpanan obat
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalian oleh apoteker dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obat kemudian diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat. Pengendalian obat yang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepada pasien oleh perawat.
V. SISTEM DISTRIBUSI OBAT DOSIS UNIT
Sistem ini mulai diperkenalkan sejak 20 tahun yang lalu, namun penerapannya masih lambat karena memerlukan biaya awal yang besar dan juga memerlukan peningkatan jumlah apoteker yang besar. Padahal ada dua kegunaan utama dari sistem ini, yaitu mengurangi kesalahan obat dan mengurangi keterlibatan perawat dalam penyiapan obat.
Istilah “dosis unit “ berkaitan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan kemasan itu. Obat dosis unit adalah obat yang disorder oleh dokter untuk penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Penderita hanya membayar obat yang dikonsumsi saja.
Distribusi obat dosis unit adalah tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dengan kerjasama dengan staf medic, perawat, pimpinan rumah sakit dan staf administrative. Maka diperlukan suatu panitia perencana untuk mengembangkan sistem ini yang sebaliknya dipimpin oleh apoteker yang menjelaskan tentang konsep sistem ini.
Sistem distribusi dosis unit merupakan metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk, tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit. Dasar dari semua sistem dosis unit adalah obat dikandung dalam kemasan unit tunggal di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi; dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan kea tau tersedia pada ruang perawatan pada setiap waktu.
Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam, yaitu :
1. Sentralisasi
Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah perawatan penderita.
Gambar 4. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Sentralisasi
2. Desentralisasi
Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya sistem ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral.
Gambar 5. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Desentralisasi
3. Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Keuntungan
1. Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar hanya obat yang dikonsumsi saja
2. Semua dosis yang diperlukan pada pada unit perawat telah disiapkan oleh IFRS. Jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk perawatan langsung penderita.
3. Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/ dokter dan membuat profil pengobatan penderita (p3) oleh apoteker dan perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsi. Dengan kata lain, sistem ini mengurangi kesalahan obat
4. Peniadaan duplikasi order obat yang berlebihan dan pengurangan pekerjaan menulis di unit perawatan dan IFRS
5. Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita
6. Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS
7. Meningkatkan penggunaan personal professional dan nonprofessional yang lebih efisien
8. Mengurangi kehilangan pendapatan
9. Menghemat ruangan di unit perawatan dengan meniadakan persediaan ruah obat-obatan
10. Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
11. Memerlukan cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara keseluruhan sejak dari dokter menulis resep / order sampai penderita menerima dosis unit
12. Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi pada penderita. Hal ini mengurangi kesempatan salah obat juga membantu daalam penelusuran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat
13. Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik
14. Apoteker dapat dating ke unit perawat/ ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan yang lebih baik lagi.
15. Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
16. pening katan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat menyeluruh
17. pengendalian yang lebih besar oelh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf
18. penyesuaian yang lebih besar untuk prosedur komputerisasi dan otomastisasi
V. ALUR DISTRIBUSI OBAT DESENTRALISASI
Faktor-faktor yang menjadi dasar untuk mengadakan pelayanan :
a. Kebutuhan pasien
Penggunaan obat di rumah sakit dapat mempengaruhi keadaan pasien, ketidaktepatan penggunaan antibiotic, mencakup ketidaktepatan dosis, interaksi obat yang merugikan, duplikasi penggunaan, kombinasi antagonis, dan ketidaktepatan durasi penggunaan. Dalam hal ini pasien adalah objek yang paling merasakan dampak negaatif dari ketidaksesuaian pemberian obat tersebut. Sistem distribusi obat sentralisasi untuk pasien rawat inap yang dispensing dari IFRS sentral, seringkali mengakibatkan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien.
b. Kebutuhan perawat
Perawat memiliki peranan penting dalam sistem distribusi obat di rumah sakit. Perawat dapat mengorder obat dari IFRS, menyiapkan dan merekonstitusi dosis untuk konsumsi, pemberian obat, merekam tiap obat yang dikonsumsi, juga memelihara rekaman obat yang terkendali yang diterima dan digunakan serta memelihara persediaan obat diruang.
Pelayanan IFRS sentralisai di rumah sakit seringkali menimbulkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan obat dan dukungan informasi obat kepada perawat jika diperlukan. Sistem distribusi obat untuk penderita rawat tinggal menggunakan efisiensi perawat dibandingkan dengan sistem distribusi obat sentralisasi.
c. Kebutuhan dokter
Dokter mendiagnosis masalah medikbagi pasien dan menulis suatu rencana terapi. Komplikasi obat menggambaarkan kebutuhan dokter akan informasi umum obat dan informasi klinik obat tertentu. Apoteker yang praktek ditempat perawatan dapat memberi pengetahuan dan pengalaman klinik obat untuk membantu dokter mengelola terapi obat penderita mereka.
d. Kebutuhan apoteker
Tugas apoteker dalam suatu sistem distribusi obat sentralisai mungkin disdominasi oleh tugas menyiapkan, dispensing, dan memberikan partisipasi minimal dalam pelayanan klinikdalam lingkup minimal, tidak melayani secara memadai atau tidak memenuhi kebutuhan pasien, dokter dan perawat yang berkaitan dengan obat.
Dalam lingkungan desentralisasi, apoteker dapat menghubungkan secara langsung, kebutuhan terapi obat pasien sebagai hasil dari berbagai kemudahan pencapaian pasien, perawat, dokter dan rekaman medic. Apoteker dapat mengembangkan keahlian dalam perawatan pasien tertentu. Dengan demikian pengalaman apoteker dalam terapi pasien dapat bertambah.
VI. Pelayanan dan Manfaat yang Diharapkan Penderita dari IFRS Desentralisasi
Karakteristik praktek farmasi klinik apoteker dalam suatu IFRS desentralisasi :
Kunjungan ke ruang perawatan penderita
Apoteker menyertai dokter dalam kunjungan pendidikan ke ruang perawatan. Partisipasi tersebut adalah dalam rangka memberikan informasi obat agar diperoleh rencana pengobatan yang lebih baik.
Wawancara penderita
Informasi sejarah obat penderita diperoleh secara lisan oleh apoteker untuk melengkapi rekaman IFRS. Masalah terapi obat pada pasien dapat diidentifikasi, demikian juga obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pemantauan Terapi Obat Penderita
Proses pemantauan terapi obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pertanyaan dokter
Pertanyaan dari dokter tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Pertanyaan perawat
Pertanyaan dari perawat tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Informasi obat
Dokter membutuhkan informasi obat yang berdasarkan penelitian dari pustaka informasi yang tersedia untuk melayani pertanyaan tersebut.
Pelayanan terapi obat yang diatur apoteker
Apoteker mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terapi obat tertentu atas permintaan dokter, pelayanan demikian akan menghasilkan terapi obat yang lebih aman, spesifik dan efektif.
Farmakokinetik
Keberhasilan penerapan pelayanan farmakokinetik klinik dapat atau tidak membutuhkan keberadaan secara fisik suatu laboratorium farmakokinetik yang dikendalikan oleh IFRS. Hal ini bukan berarti apoteker tidak mampu memberikan pelayanan informasi secara farmakokinetik.
Evaluasi penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan obat adalah suatu proses jaminan mutu yang disahkan rumah sakit, dilakukan terus menerus, terstruktur, ditujukan guna memastikan bahwa pemberian obat diberikan secara aman dan efektif.
Tanggungjawab farmasis dalam kaitannya distribusi obat di satelit farmasi :
1. Dispensing dosis awal pada permintaan baru dan larutan intravena.
2. Mendistribusikan I. V admixture yang disiapkan oleh farmasis sentral
3. Memeriksa permintaan obat dengan melihat Medication Administration Records (MAR)
4. Menulis nama generic obat di MAR
5. Memecah masalah yang berkaitan dengan distribusi
Keuntungan
1. Obat dapat segera tersedia untuk diberikan kepada pasien
2. Pengendalian obat dan akuntabilitas semua baik
3. Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat
4. Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat berpeluang diterapkan untuk penyerahan obat kepada pasien melalui perawat
5. Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan pasien dan dapat berbicara dengan penderita secara efisien
6. Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan perawat
7. Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan pasien berkurang, karena tugas ini telah diambil alih oleh personel IFRS desentralisasi
8. Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan pasien lebih efektif sebagai hasil pengalaman klinik terfokus
9. Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara efisien, misalnya pengaturan suatu terapi obat penderita khusus yang diminta dokter, heparin dan antikoagulan oral, digoksin, aminofilin, aminoglikosida dan dukungan nutrisi
10. Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik dan studi usemen mutu terapi obat pasien
Keterbatasan
1. Semua apoteker klinik harus cakap sebagai penyedia untuk bekerja secara efektif dengan asisten apoteker dan teknisi lain
2. Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan, distribusi dan pelayanan klinik. Waktu yang mereka gunakan dalam kegiatan yang bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan asisten apoteker yang bermutu dan kemampuan teknisi tersebut untuk secara efektif mengorganisasikan waktu guna memenuhi tanggungjawab mereka
3. Pengendalian inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena likasi IFRS cabang yang banyak untuk obat yang sama, terutama untuk obat yang jarang ditulis.
4. Komunikasi langsung dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktek dalam lokasi fisik yang banyak
5. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan (pustaka) informasi obat, laminar air flow, lemari pendingin, rak obat, dan alat untuk meracik
6. Jumlah dan keakutan pasien menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personal dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil
VII. PERENCANAAN SUATU SISTEM DISTRIBUSI OBAT BAGI PENDERITA RAWAT TINGGAL
Perencanaan suatu sistem distribusi obat bagi penderita rawat tinggal di suatu rumah sakit dilakukan oleh PFT, IFRS, perawat dan unit lain jika diperlukan. Tim yang dibentuk mengadakan peninjauan luas dari semua sistem distribusi obat yang ada dan kondisi rumah sakit. Tim mempelajari keuntungan dan keterbatasan suatu sistem distribusi obat berkaitan dengan kondisi rumah sakit secara menyeluruh. Kemudan tim memilih salah satu dari sistem distribusi obat untuk selanjutnya dilakukan studi penerapan sistem distribusi obat yang dipilih itu lebih mendalam.
Desain sistem distribusi
Mendesain suatu sistem distribusi obat di rumah sakit memerlukan analisis sistematik dari rasio manfaat-biaya dan perencanaan operasional. setelah sistem diterapkan, pemantauan unjuk kerja dari evaluasi mutu pelayanan tetap diperlukan untuk memastikan bahwa sistem berfungsi sesuai dengan harapan.
Dalam mendesain atau mendesain kembali suatu sistem distribusi obat, perlu dilakukan beberapa tahapan penting :
1. Menetapkan lokasi dan jumlah semua ruangan perawatan penderita dan buat petanya. dalam hal ini, perlu dipertimbangkan faktor-faktor sesperti faktor geografis, tata ruang, populasi penderita, ketersediaan ruangan penyimpanan obat, ruangan pelayanan obat penderita, ketersediaan staf, fasilitas transpor obat dari IFRS ke tiap ruangan penderita, hambatan politik, dan hambatan sumber lain.
2. Memilih suatu metode mendistribusikan obat ke unit pengguna.
3. Mengembangkan perangkat rute penghantaran yang mungkin dan ekonomis, serta menyusun suatu jadwal penghantaran yang praktis melayani tiap rute tersebut.
Perencanaan spesifikasi
Proses mendesain suatu sistem distribusi obat, mencakup :menerjemahkan kebutuhan konsumen (penderita dan staf profesional pelayanan kesehatan) menjadi spesifikasi pelayanan obat, spesifikasi penghantaran pelayanan obat, dan spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat.
Spesifikasi pelayanan obat
Spesifikasi pelayanan obat dengan menetapkan pelayanan yang diberikan. Spesifikasi pelayanan obat harus mengandung suatu pernyataan yang lengkap dan tepat dari pelayanan yang diberikan, meliputi :
1. suatu uraian yang jelas dari karakteristik pelayanan yang menjadi sasaran evaluasi.
2. suatu standar untuk penerimaan dari tiap karakteristik pelayanan.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat menetapkan sarana dam metode yang digunakan untuk menghantarkan pelayanan obat.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat harus mengandung :
1. prosedur penghantaran pelayanan
2. metode yang digunakan dalam proses penghantaran pelayanan
3. uraian dari karakteristik penghantaran pelayanan
4. standar untuk penerimaan dari karakteristik penghantaran pelayanan
5. persyaratan sumber untuk memenuhi spesifikasi pelayanan
6. persyaratan personel, jumlah, dan keterampilan.
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat menetapkan prosedur untuk mengevaluasi dan mengendalikan karakteristik pelayanan dan karakteristik penghantaran pelayanan. Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat harus memungkinkan pengendalian yang efektif dari tiap proses pelayanan untuk memastikan bahwa pelayanan secara konsisten memuaskan spesifikasi pelayanan dan konsumen.
Desain pengendalian mutu dan pelayanan obat :
1. mengidentifikasi kegiatan kunci dari tiap proses yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap mutu pelayanan.
2. menganalisis kegiatan, dengan mengukur dan pengendalian akan memastikan mutu pelayanan.
3. menetapkan metode untuk mengevaluasi karakteristik yang dipilih.
4. menetapkan sarana untuk mengendalikan karakteristik dalam batas yang ditetapkan.
VIII. PELAKSANAAN PROGRAM PERCOBAAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT YANG DIPILIH
Untuk pelaksanaan program percobaan sistem distribusi obat, biasanya untuk tahap pertama dilakukan dala 1 atau lebih daerah perawatan penderita selama waktu tertentu dan secra terus menerus dipantau, dievaluasi, dan dilakukan tindakan perbaikan. Jika tahap pertama mulai mantap, percobaan diteruskan dengan menambah daerah perawatan tertentu lainnya atau keseluruahan rumah sakit. Percobaan ini dilakukan dalam waktu yang lebih lama, karena pada tahap ini diadakan pematangan terhadap semua prosedur, spesifikasi, perbaikan, dan evaluasi karakteristik pelayanan dan penghantaran pelayanan obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar, C.J.P. Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan. 2003. Jakarta: EGC.
2. Wolff, J.A., Cashman, R., Kweekeh, F.A., Managing Drug Supply 2nd ed. 1997. Connecticut, USA : Kumarian Press.
den ger
When MM first made their announcement that they’d be releasing SADIST WITH RED TEETH on DVD, there were several cult-film pundits crowing about the utter awfulness of this French vampire opus. And indeed by anyone’s standards of what constitutes a “normal” film, SADIST is mind-bogglingly terrible. Its plot is hopelessly confused, its script sounds made-up on the spot, the performances practically define the description “wooden” and the special effects are totally unrealistic. Your average self-respecting horror fan might look on these meager works and despair. But the open-minded cult film fan, the lover of the eccentric and the bizarre in world cinema will look upon SADIST with nothing but wide-eyed affection. For me it was love at first sight. SADIST is pure weirdo entertainment, more psychedelic than terrifying, mesmerizing in its total commitment to its own oddness.
A man thinks he is becoming a vampire following his release from a hospital. His doctors attempt to continue and foster this belief to further some obscure occult conspiracy. Eventually of course he ends up murdering some people and the police are soon hot on his trail. Except that that in no way sums up what is actually going on in this movie. SADIST is confoundingly weird, separating you from any sensible interpretation of the gothic events unfolding willy-nilly. Grainy stock footage of natural disasters regularly intercedes on the action ostensibly illustrating the main character’s violent state of mind, along with arty polarization effects and random shots of snakes and spiders, but these wayward avant-garde effects do more to interrupt the viewer’s frame of mind than reveal anything of value about the characters. Oddball characters waft in and out of the story with little rhyme and certainly no reason. My advice? Just give up and go with the flow. If you like weird movies, and you probably do, this is seriously one of the weirdest movies I have ever seen. It has a weirdness that is beyond words. SADIST WITH RED TEETH comes with Worldweird Cinema’s highest recommendation possible. If you don’t like this movie, it’s possible that bizarre foreign cult movies are just not for you.
I wish I could say the same about FORBIDDEN PARIS. Oh, it’s pretty weird, and has some wonderfully odd images and moments, but it just barely held my attention throughout. Director Van Belle’s first feature film, it’s a “mondo” style documentary depicting a swath of oddballs and nutjobs in the Paris of the late 60s. It starts off strong with a slow motion shot of a woman walking through the streets in the buff, and then heading into a vignette showing a family of three preparing for a post-nuclear future. But overall there’s a little too much drag in the episodes, with the usual fakirs and animal deaths and whatnot. I am not much of fan of this type of cult movie, and PARIS did not covert me. It does have a great droney pop-jazz score and it looks good, but I doubt I’ll be returning to it anytime soon, unlike SADIST, which is already demanding an encore viewing.
Mondo Macabro’s digital video presentation of each of these rare and almost lost films is nigh perfect. A wee-bit of damage on the negative for SADIST comes through, but otherwise it’s astonishingly beautiful, colorful and sharp. PARIS fares even better, looking as though it could have been filmed last year and not 40 years ago. There’s a great French language documentary about Van Belle, which centers on this enigmatic directors propensity for storytelling and obscuring the truth of his own biography. Liner notes from Christophe Bier, who is also interviewed in the docu, do their best to separate fact from fiction but ends up emphasizing the unknowability of this unique figure in European low budget cinema. JLVB himself does little video introductions to each film, talking a bit about his reasons for casting mega-cutie British actress Jane Clayton in SADIST. Mostly it was because she was mega-cute, and had nothing to do with her acting. Which, after you watch the movie, will make perfect sense. She’s not very good, but she’s totally hot. His intro for PARIS emphasizes the verite of each scene, claiming nothing was staged. I think I may have to call bullshit on that one, but judge for yourself. While we are only two months into 2010, Mondo Macabro has unleashed a likely contender for the best DVD of the year. SADIST is amazing and the extras all worthwhile (even PARIS though I didn’t much care for it). Do yourself a favor and inject some much-needed weirdness into your life with this astonishing double-bill release.
den ger
International spy films have often used Istanbul as a stock location to give a feeling of mystery and intrigue. Its unique architecture and deep history lend this easily, and it doesn’t hurt that during the 60s and 70s there was a film industry based there which actively sought out international co-productions. Istanbul was cheap and exotic, two very big plusses when it comes to the b-movie industry. So why wouldn’t the Turks want to take advantage of this themselves and not just leave it to the Italians or the Brits? They did so starting in ‘66 with a series of amiable James Bond knockoffs filmed under the banner ALTIN COCUK. Onar’s latest DVD is a presentation of the first film in that series, and while it probably isn’t going to blow your mind or change your life it is terrific fun nonetheless. Featuring romantic leading man Goksel Arsoy as the Bondish Altin Cocuck (or “Golden Boy”) a super-suave, super-deadly superagent out to protect Turkey from Cold War-era nogoodniks and to get as many lovely and scantily clad Anatolian chicks into bed as possible. There are a lot of double crossings, disguises, torture, gunfights, near-naked girls, underwater hi-jinks and love on the sly as our hero prevents mega-Turk-baddie Altan Gunbay from blowing up all Istanbul in an event which Gunbay predicts will be “more fun than Hiroshima”. One girl is whipped nearly out of her dress and another is strung up while in a bikini and slowly hung as the ice she’s made to stand on melts away under a heat lamp and the diabolical glare of Gunbay. The movie spits out one fast-paced scene after the next in the best Yesilcam cheap-but-entertaining tradition and is never, ever boring. But if you’re looking for the weirdest or wackiest or bloodiest or sexiest Turkish film, this one ain’t it. Not by a long shot. But it’s wild enough and rare enough to hold a bright spot in your heart and your DVD collection if you’re just willing to let it in and do its thing.
More in the movie’s favor than its plot or action are its relatively great cinematic qualities. Director Memduh Un enriches each frame with a wonderfully expressionist, almost noir-ish eye. Dutch angles and moody lighting give it an atmosphere beyond the simple and action and poverty of plot. ALTIN COCUK looks great, better than it should, and is a shining testament to the often unheralded talents that were behind these disposable pop films. The acting isn’t anything that you wouldn’t find in any other Turkish film (or Spanish or Greek or Egyptian for that matter), but the cheap charisma of Goksel Arsoy holds things together nicely for the brief duration of the flick. And of course Altan Gunbay, in one of his earliest roles is typically great as the bald bad-ass out to betray his brethren. But really, it’s the endless parade of beautiful ladies that keeps your attention in scenes not featuring gunfire or torture. Sevda Nur plays the main girl, and while she hasn’t much to do, her dark and ethereal beauty are mesmerizing and after awhile you don’t really remember that she not really all that great as an actor. There’s quite a bit to be excited about in this movie, especially if you enjoy 60s spy flicks. Honestly, it’s never really been my cup of tea, I don’t even care for the Bond movies, but one thing I do like is Turkish pop cinema, in any shape or genre, and so ATLIN COCUK gives me just enough of that thrill that it will keep me coming back as long as it remains in on my DVD shelf.
Onar’s discs just keep getting better. This is one of the best looking yet. On par with many of Something Weird Video’s transfers of American 60s low budgets epics, you get a lovely, clear b&w 4:3 fullscreen image. Considering the sometimes awful state of the prints Onar often has to deal with, ALTIN’s fine presentation is a minor miracle. Extras soar as well. The best is the first ever filmed interview with longtime Turkfilm villain Altan Gunbay. It’s full of great and illuminating info concerning his career and the Turkish film industry in general. On the downside, the video is appallingly edited, with no rhyme or reason to the structure of the interview. Valuable stuff, nonetheless. The usual, terrific and informed bios and filmographies are here as well as some trailers for other Onar things. The exciting bits here concern two mysterious upcoming releases. One is a formerly lost KILINK movie, whose title is still unknown at press time: the scene included is wonderfully sadistic and certainly whets the appetite for more. Perhaps even more mindblowing is RINGO GESTAPO’YA KARSI, a feverish looking adventure pitting cowboys against Nazis in the wilds of Anatolia. I need this one as soon as possible, OK Bill? All in all, another great time provided by Onar Films of Athens, Greece. Fans of 60s international spy films will want to waste no time in picking this one up and the usual Worldweirders, if they don’t already have it, are heartily recommended to pick it up at their earliest convenience.
den ger
AWAS SALAH OBAT
Bentuknya memang kecil. Tapi kalau salah telan akibatnya bisa fatal. Kepala nyut-nyutan, perut perih karena maag, itu sih biasa. Namun tidak semua orang yang menanggapi gangguan itu secara serius. Kebanyakan orang mungkin memilih membeli obat di warung atau toko daripada berkonsultasi ke dokter. Cepat dan murah, tapi aman… belum tentu!
HATI-HATI KADALUARSA,
Bingung memilih obat yang akan dibeli ? wajar ! soalnya jenis obat yang beredar di pasaran jumlahnya ratusan. Namun secara garis besar, obat dibagi dua golongan, yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter atau disebut obat bebas dan obat bebas terbatas. Dan obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter meskipun sekarang obat yang masuk golongan kedua pun bisa diperoleh langsung tanpa resep dokter, tapi sebaiknya jangan dibasakan membeli obat ke dua tersebut tanpa konsultasi dokter sebelumnya, karena kesehatan kita yang jadi taruhannya.
Sebelum mengonsumsi pun kita mesti tahu betul waktu kedaluarsa obat tersebut. Seharusnya pada semua obat harus mencantumkan tanggal kadaluarsa jadi kita mesti memperhatikannya dengan baik. Obat kadaluarsa, bukannya menyembuhkan, malah bisa meracuni tubuh kita. Seandainya kita tidak yakin dengan tanggal kadaluarsanya, lebih baik jangan mengonsumsinya. Langsung buang saja.
Perhatikan juga tempat penyimpanannya. Kesalahan menyimpan obat bisa mempercepat kadaluarsa. Simpan obat di tempat sejuk dan kering. Selain itu jangan terkena cahaya matahari secara langsung. Hindari juga menyimpan beberapa obat dalam satu wadah. Misalnya, mengeluarkan sejumlah obat dari kemasan aslinya, kemudian menyimpannya di dalam satu botol. Selain bisa merusak obat itu sendiri kita juga akan kebingungan mengingat nama obatnya.
IKUTI ATURAN PAKAI,
Aturan pakai tidak hanya seputar petunjuk seperti “diminum tiga kali sehari”, tapi lebih kompleks dari itu. Kita kita juga harus tahu, apakah obat tersebut sebaiknya diminum sebelum dimakan atau sesudah makan. Obat anti nyeri seperti asetosal, asammefenamat dan diklofenak, dianjurkan diminum pada waktu makan atau sesaat setelah makan. Begitu juga dengan antibiotik macam metronidazool dan mitrofurantoin. Sebaliknya antibiotik seperti ampisilin justru wajib diminum sejam sebelum makan, atau dua jam sesudah makan. Karenanya, saat membeli obat, rajin-rajinlah bertanya kepada apoteker.
Selain memperhatikan aturan pakai, untuk obat bebas terbatas juga ada warning tertentu yang harus disimak. Seperti ‘dilarang menjalankan mesin, baik itu mesin kendaraan, maupun mesin pabrik’ kalau ada peringatan seperti ini, biasanya obat tersebut berpotensi menyebabkan kantuk, jadi jangan nekat menelannya.
Namun kadang-kadang, meski kita sudah mengikuti petunjuk dengan benar, masih saja ada jadwal minum obat yang terlewat. Kalau masih ada rentang waktu dua jam sebelum jadwal minum berikutnya, sebaiknya segera dikonsumsi tapi kalau sudah masuk jadwal berikutnya, dilewatkan saja, jangan malah mendobelkan dosis. Karena sangat berbahaya.
PERHATIAN-PERHATIAN,
Setelah mencermati tanggal kadaluarsanya dan aturan pakai, ada hal-hal lain yang tidak kalah penting buat diperhatikan.
1. Jangan asal campur,
Disaat yang bersamaan, kita mungkin menderita dua penyakit yang berbeda, misalnya sakit kepala dan maag. Kita bisa mengonsumsi dua obat berbeda sekaligus selama obat tersebut adalah obat bebas, namun harus dihindari mengonsumsi lebih dari dua obat sekaligus. Pasalnya, semakin banyak pencampuran , dikhawatirkan akan mempengaruhi reaksi obat. Bisa-bisa, berbagai obat tadi justru membentuk zat lain yang tidak berkhasiat.
2. Beda lagi dengan obat keras. Biasanya apoteker atau asisten apoteker sudah mengatur jadwal minum obat sedemikian rupa. Bila ada obat yang tidak boleh dikonsumsi bersamaan, semua telah dicantumkan dalam aturan pakai karenanya, kalau kita lagi menggunakan obat lain di luar resep, jangan lupa memberi tahu apoteker atau dokter yangbersangkutan. Begitu juga,kalau kita punya riwayat alergi, punya masalah kesehatan atau menderita penyakit lain, lagi hamil, diet rendah gula, rendah garam dan diet lainnya.
3. Harus habis!
Khusus untuk antibiotik, harus dikonsumsi hingga habis. Karena kalau tidak, bibit penyakit dalam tubuh justru akan kebal antibiotik tersebut. Kalau dikemudian hari kita mengalami sakit seerupa, obat yang harus kita minum pun harus naik tingkat alias lebih keras lagi.
4. Dilarang bagi-bagi,
Kalau kita mendapat resep obat keras dari dokter, resep tersebut hanya boleh digunakan oleh kita. Jadi, kalau ada teman atau kenalan sakit dengan gejala serupa, kita dilarang keras bagi-bagi obat ke mereka. Soalnya kondisi orng lain sudah pasti berbeda. Obat yang sama belum tentu cocok bagi orang lain, walaupun mujarab bagi diri kita.
Sumber :
http://pusatmedis.com/salah-obat-bisa-fatal_246.htm
Sumber Gambar:
http://www.adlife.spb.ru/news/201.shtml
den ger
Batuk merupakan salah satu penyakit yang cukup sering dialami banyak kalangan. Sehingga batuk diidentikan sebagai reaksi fisiologik yang normal. Batuk terjadi jika saluran pernafasan kemasukan benda-benda asing atau karena produksi lendir yang berlebih. Benda asing yang sering masuk ke dalam saluran pernafasan adalah debu. Gejala sakit tertentu seperti asma dan alergi merupakan salah satu sebab kenapa batuk terjadi.
Obat batuk yang beredar di pasaran saat ini cukup beraneka ragam. Baik obat batuk berbahan kimia hingga obat batuk berbahan alami atau herbal. Jenisnya pun bermacam-macam mulai dari sirup, tablet, kapsul hingga serbuk (jamu). Terdapat persamaan pada semua jenis obat batuk tersebut, yaitu sama-sama mengandung bahan aktif yang berfungsi sebagai pereda batuk. Akan tetapi terdapat pula perbedaan, yaitu pada penggunaan bahan campuran/penolong. Salah satu zat yang sering terdapat dalam obat batuk jenis sirup adalah alkohol.
Temuan di lapangan diketahui bahwa sebagian besar obat batuk sirup mengandung kadar alkohol. Sebagian besar produsen obat batuk baik dari dalam negeri maupun luar negeri menggunakan bahan ini dalam produknya. Beberapa produk memiliki kandungan alkohol lebih dari 1 persen dalam setiap volume kemasannya, seperti Woods, Vicks Formula 44, OBH Combi, Benadryl, Alphadryl Expectorant, Alerin, Caladryl, Eksedryl, Inadryl hingga Bisolvon.
Penggunaan alkohol dalam obat batuk merupakan polemik tersendiri, terutama di kalangan umat Islam. Bolehkah alkohol digunakan dalam obat batuk? Apakah sama statusnya dengan alkohol pada minuman keras? Sebenarnya apa sih fungsi alkohol ini?
Menurut pendapat salah seorang pakar farmasi Drs Chilwan Pandji Apt Msc, fungsi alkohol itu sendiri adalah untuk melarutkan atau mencampur zat-zat aktif, selain sebagai pengawet agar obat lebih tahan lama. Dosen Teknologi Industri Pertanian IPB itu menambahkan, Berdasarkan penelitian di laboratorium diketahui bahwa alkohol dalam obat batuk tidak memiliki efektivitas terhadap proses penyembuhan batuk, sehingga dapat dikatakan bahwa alkohol tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan frekuensi batuk yang kita alami.
Sedangkan salah seorang praktisi kedokteran, dr Dewi mengatakan, Efek ketenangan akan dirasakan dari alkohol yang terdapat dalam obat batuk, yang secara tidak langsung akan menurunkan tingkat frekuensi batuknya. Akan tetapi bila dikonsumsi secara terus menerus akan menimbulkan ketergantungan pada obat tersebut. Berdasarkan informasi tersebut sebenarnya alkohol bukan satu-satunya bahan yang harus ada dalam obat batuk. Ia hanya sebagai penolong untuk ekstraksi atau pelarut saja.
Sebenarnya pada kondisi darurat, obat yang mengandung bahan haram atau najis bisa digunakan. Definisi darurat dalam pandangan fiqih adalah bilamana nyawa seseorang sudah terancam dan pada kondisi tersebut tidak ada alternatif lain yang bisa menyembuhkannya. Pandangan darurat terhadap penggunaan alkohol dalam bahan obat-obatan saat ini merupakan hal yang cukup penting. Terutama dikaitkan dengan status halal dan haramnya. Berdasarkan hasil rapat komisi fatwa pada bulan Agustus 2000 disebutkan bahwa semua jenis minuman keras haram hukumnya, segala sesuatu yang mengandung alkohol itu dilarang karena haram dan minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1 persen, termasuk dalam obat-obatan, tak terkecuali obat batuk.
Penggunaan alkohol berlebih akan menimbulkan efek samping. Chilwan Pandji mengatakan, konsumsi alkohol berlebih akan menimbulkan efek fisiologis bagi kesehatan tubuh, yaitu mematikan sel-sel baru yang terbentuk dalam tubuh. Selain itu juga efek sirosis dalam hati, dimana jika dalam tubuh manusia terdapat virus maka virus tersebut akan bereaksi dan menimbulkan penyakit hati (kuning). Selain haram, penggunaan alkohol dalam obat akan lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaatnya. Chilwan Pandji menambahkan bahwa pada saat ini telah ditemukan berbagai macam obat alternatif yang memiliki fungsi sama dengan obat batuk yang mengandung alkohol tersebut.
Bahan obat batuk ini biasanya berasal dari tumbuhan atau sering disebut obat herbal, dimana diketahui tidak membutuhkan alkohol dalam pelarutan zat-zat aktif, tetapi dapat menggunakan air sebagai bahan pelarut. Obat batuk herbal yang berasal dari bahan alami ini pada dasarnya tidak berbahaya, dan dari segi kehalalannya sudah lebih dapat dibuktikan. Dengan banyaknya alternatif obat batuk non alkohol itu maka aspek darurat sudah tidak bisa digunakan lagi. Oleh karena itu sebaiknya kita cari obat batuk non alkohol dan mulai meninggalkan yang beralkohol. Dengan demikian obat yang kita konsumsi terbebas dari bahan haram dan najis.
Sumber :
http://www.halalguide.info/2008/12/08/alkohol-dalam-obat-batuk/
8 Desember 2008
http://el850211.spaces.live.com/blog/cns!428527898232D624!1389.entry
den ger
Memang dosis obat yang dijual bebas terbilang aman. Namun, kita tetap perlu cermat memilih dan memerhatikan aturan pemakaiannya, apalagi pada dasarnya semua obat sama, bisa menjadi racun pada pemakaian berlebihan atau berkepanjangan.
Itu sebabnya, Anda perlu memastikan apakah obat bebas yang dikonsumsi benar-benar aman. Pasalnya, banyak juga obat bebas yang sebenarnya membutuhkan resep dokter, tetapi bisa dibeli secara bebas. Lalu, bagaimana memilih obat warung yang terbaik dan berkhasiat tanpa merusak diri?
1. Hanya untuk pertolongan pertama
Obat bebas yang dijual di warung sekalipun adalah obat legal. Malah kita dianjurkan agar selalu menyimpan obat bebas, seperti obat demam, flu, batuk, dan oralit, di kotak obat sebagai persediaan untuk pertolongan pertama. Namun, bila gejala sakit masih berlanjut hingga 2 hari, Anda harus segera berkonsultasi ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.
2. Ketahui kandungan obat
Sebelum meminum obat, kita perlu mengetahui kandungan yang terdapat dalam obat tersebut. Hal ini untuk memastikan agar kita tidak memiliki alergi terhadap kandungan obat.
3. Sesuaikan dengan penyakit
Misalnya, saat Anda batuk, perhatikan apakah batuk tersebut termasuk jenis batuk kering atau batuk berdahak. Begitu pula jika Anda terserang flu. Anda dapat mendeteksinya. Jika flu mengeluarkan cairan encer, maka itu biasanya disebabkan oleh virus. Untuk bisa sembuh, Anda hanya perlu cukup istirahat, minum banyak air, dan makan makanan bergizi. Jika cairan kental, maka itu berarti flu yang disebabkan oleh bakteri dan perlu diatasi dengan minum antibiotik dari dokter.
4. Dosis harus pas
Gunakan obat sesuai dosis yang tertera dalam kemasan. Hindari mengonsumsi kandungan tertentu dari obat dengan dosis dua kali lipat atau lebih. Pasalnya, banyak orang mengonsumsi obat flu dan obat sakit kepala bersamaan sehingga kandungan parasetamol yang terdapat dalam kedua obat itu masuk ke tubuh dengan dosis ganda.
5. Perhatikan komposisi
Dalam memilih obat warung, perhatikan juga komposisinya. Misalnya, Anda memiliki masalah gangguan perut. Untuk itu, Anda sebaiknya menghindari obat-obatan yang mengandung asetosal, ibuprofen, dan asam mefenamat. Pilihlah acetaminophen atau parasetamol. Jika Anda sering mengalami sakit kepala disertai mual, sebaiknya minum obat antimual terlebih dahulu.
6. Jika bersamaan dengan obat resep
Jika Anda terbiasa minum obat warung, sementara saat ini Anda sedang mengonsumsi obat resep, maka tanyakan pada dokter atau apoteker sebelum mengonsumsi obat warung. Pasalnya, obat warung dapat berinteraksi dengan obat-obatan yang diresepkan dokter.
Sumber :
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/12/11/13425030/Cerdas.Memilih.Obat.Bebas
11 Desember 2009
Sumber :
http://www.kalbe.co.id/?mn=news&tipe=detail&detail=19497
den ger
Dosis obat untuk anak-anak selalu disesuaikan dengan berat badan dan usia sehingga anak akan mendapat takaran obat yang pas. Namun tidak demikian halnya dengan orang dewasa, semua dosis berlaku rata untuk setiap pasien tak peduli apakah pasien itu kurus atau gemuk.
Sejumlah pakar menilai hal itu keliru. Dalam jurnal kesehatan The Lancet, mereka berpendapat dosis antibiotik seharusnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Dosis obat yang tinggi diberikan untuk pasien yang gemuk.
Dr.Matthew E. Falagas, direktur Alfa Institute of Biomedical Science, Yunani dan profesor ilmu kedokteran dari Tufts University School of Medicine, Boston, Amerika Serikat adalah salah satu penggagas dosis obat itu. Dr.Falagas yang memiliki berat badan 89,8 kg dan tinggi 182 cm menggunakan dirinya sendiri bersama mahasiswinya yang memiliki berat 54,4 kg dan tinggi 152 cm sebagai contoh.
"Bila kita didiagnosis radang paru atau bronkhitis di rumah sakit New York setiap pasien akan mendapat dosis antiobiotik yang sama. Padahal seharusnya saya menerima dosis dua kali lebih besar daripada mahasiswi saya," kata Dr.Falagas.
Meskipun dosis berbagai obat kanker dihitung berdasarkan berat badan karena sifat racunnya, namun menurut Dr.Falagas tidak ada pedoman bagi para dokter dalam membuat resep obat berdasarkan bobot tubuh pasien.
Resep obat yang tidak pas dengan berat badan tersebut diyakini Dr.Falagas sebagai penyebab banyaknya pasien yang terkena infeksi pasca operasi, meskipun dokter sudah memberi antibiotik pencegah infeksi.
Perubahan takaran antibiotik akan meningkatkan efektivitas dan keamanan obat, sekaligus mengurangi faktor resistensi bakteri. Selain itu, hal ini akan membuat perusahaan farmasi membuat obat dalam berbagai bentuk, mulai dari yang cair hingga tablet dalam berbagai ukuran.
Sumber :
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/25/14550216/Dosis.Obat.Hendaknya.Disesuaikan.Bobot.Tubuh
25 Januari 2010
Sejumlah pakar menilai hal itu keliru. Dalam jurnal kesehatan The Lancet, mereka berpendapat dosis antibiotik seharusnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Dosis obat yang tinggi diberikan untuk pasien yang gemuk.
Dr.Matthew E. Falagas, direktur Alfa Institute of Biomedical Science, Yunani dan profesor ilmu kedokteran dari Tufts University School of Medicine, Boston, Amerika Serikat adalah salah satu penggagas dosis obat itu. Dr.Falagas yang memiliki berat badan 89,8 kg dan tinggi 182 cm menggunakan dirinya sendiri bersama mahasiswinya yang memiliki berat 54,4 kg dan tinggi 152 cm sebagai contoh.
"Bila kita didiagnosis radang paru atau bronkhitis di rumah sakit New York setiap pasien akan mendapat dosis antiobiotik yang sama. Padahal seharusnya saya menerima dosis dua kali lebih besar daripada mahasiswi saya," kata Dr.Falagas.
Meskipun dosis berbagai obat kanker dihitung berdasarkan berat badan karena sifat racunnya, namun menurut Dr.Falagas tidak ada pedoman bagi para dokter dalam membuat resep obat berdasarkan bobot tubuh pasien.
Resep obat yang tidak pas dengan berat badan tersebut diyakini Dr.Falagas sebagai penyebab banyaknya pasien yang terkena infeksi pasca operasi, meskipun dokter sudah memberi antibiotik pencegah infeksi.
Perubahan takaran antibiotik akan meningkatkan efektivitas dan keamanan obat, sekaligus mengurangi faktor resistensi bakteri. Selain itu, hal ini akan membuat perusahaan farmasi membuat obat dalam berbagai bentuk, mulai dari yang cair hingga tablet dalam berbagai ukuran.
Sumber :
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/25/14550216/Dosis.Obat.Hendaknya.Disesuaikan.Bobot.Tubuh
25 Januari 2010
den ger
Dalam memberikan pengobatan kita sebagai perawat harus mengingat dan memahami prinsip enam benar (dulu lima benar) agar kita dapat terhindar dari kesalahan dalam memberikan obat, prinsip enam benar tersebut akan kita bahas dalam postingan kali ini, namun ada baiknya juga kita mengetahui peran masing-masing profesi yang terkait dengan upaya pengobatan tersebut.
Peran Dokter dalam Pengobatan
Dokter bertanggung jawab terhadap diagnosis dan terapi. Obat harus dipesan dengan menulis resep. Bila ragu tentang isi resep atau tidak terbaca, baik oleh perawat maupun apoteker, penulis resep itu harus dihubungi untuk penjelasan.
Peran Apoteker dalam Pengobatan
Apoteker secara resmi bertanggung jawab atas pasokan dan distribusi obat.selain itu apoteker bertanggung jawab atas pembuatan sejumlah besar produk farmasi seperti larutan antiseptik, dan lain-lain.
Peran penting lainnya adalah sebagai narasumber informasi obat. Apoteker bekerja sebagai konsultan spesialis untuk profesi kedokteran, dan dapat memberi nasehat kepada staf keperawatan dan profesi kesehatan lain mengenai semua aspek penggunaan obat, dan memberi konsultasi kepada pasien tentang obatnya bila diminta.
Peran Perawat
Karena obat dapat menyembuhkan atau merugikan pasien, maka pemberian obat menjadi salah satu tugas perawat yang paling penting. Perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Perawat yang bertanggung jawab bahwa obat itu diberikan dan memastikan bahwa obat itu benar diminum.
Bila ada obat yang diberikan kepada pasien, hal itu harus menjadi bagian integral dari rencana keperawatan. Perawat yang paling tahu tentang kebutuhan dan respon pasien terhadap pengobatan. Misalnya, pasien yang sukar menelan, muntah atau tidak dapat minum obat tertentu (dalam bentuk kapsul). Faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual atau motorik, yang mungkin menyebabkan pasien sukar makan obat, harus dipertimbangkan.
Rencana perawatan harus mencangkup rencana pemberian obat, bergantung pada hasil pengkajian, pengetahuan tentang kerja dan interaksi obat, efek samping, lama kerja, dan program dokter.
Prinsip Enam Benar
1.Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti !
4.Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.
Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
5.Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
Cara Penyimpanan Obat
Dalam menyimpan obat harus diperhatikan tiga faktor utama, yaitu :
Suhu, adalah faktor terpenting, karena pada umumnya obat itu bersifat termolabil (rusak atau berubah karena panas), untuk itu perhatikan cara penyimpanan masing-masing obat yang berbeda-beda. Misalnya insulin, supositoria disimpan di tempat sejuk < 15°C (tapi tidak boleh beku), vaksin tifoid antara 2 - 10°C, vaksin cacar air harus < 5°C.
Posisi, pada tempat yang terang, letak setinggi mata, bukan tempat umum dan terkunci.
Kedaluwarsa, dapat dihindari dengan cara rotasi stok, dimana obat baru diletakkan dibelakang, yang lama diambil duluan. Perhatikan perubahan warna (dari bening menjadi keruh) pada tablet menjadi basah / bentuknya rusak.
Kesalahan Pemberian Obat
Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain yang mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya lupa memberi obat, memberi obat dua sekaligus sebagai kompensasi, memberi obat yang benar pada waktu yang salah, atau memberi obat yang benar pada rute yang salah.
Jika terjadi kesalahan pemberian obat, perawat yang bersangkutan harus segera menghubungi dokternya atau kepala perawat atau perawat yang senior segera setelah kesalahan itu diketahuinya.
Pedoman KIE Perawat kepada Pasien atau Keluarga
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu dengan benar tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit menahun, seperti asma, artritis rematoid, hipertensi, TB, diabetes melitus, dan lain-lain.
Mengapa Pasien Tidak Patuh dalam Meminum Obatnya ?
Kurang pahamnya pasien terhadap tujuan pengobatan itu.
Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya.
Sukarnya memperoleh obat tersebut di luar rumah sakit.
Mahalnya harga obat.
Kurangnya kepedulian dan perhatian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pemberian obat itu kepada pasien.
Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaanya. Untuk itu sebelum pasien pulang ke rumah, perawat perlu memberikan KIE kepada pasien maupun keluarga tentang :
Nama obatnya.
Kegunaan obat itu.
Jumlah obat untuk dosis tunggal.
Jumlah total kali minum obat.
Waktu obat itu harus diminum (sebelum atau sesudah makan, antibiotik tidak diminum bersama susu)
Untuk berapa hari obat itu harus diminum.
Apakah harus sampai habis atau berhenti setelah keluhan menghilang.
Rute pemberian obat.
Kenali jika ada efek samping atau alergi obat dan cara mengatasinya
Jangan mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai kendaraan bermotor pada terapi obat tertentu misalnya sedatif, antihistamin.
Cara penyimpanan obat, perlu lemari es atau tidak
Setelah obat habis apakah perlu kontrol ulang atau tidak
Sumber :
http://nursingbegin.com/prinsip-enam-benar-dalam-pemberian-obat/
18 April 2009
Peran Dokter dalam Pengobatan
Dokter bertanggung jawab terhadap diagnosis dan terapi. Obat harus dipesan dengan menulis resep. Bila ragu tentang isi resep atau tidak terbaca, baik oleh perawat maupun apoteker, penulis resep itu harus dihubungi untuk penjelasan.
Peran Apoteker dalam Pengobatan
Apoteker secara resmi bertanggung jawab atas pasokan dan distribusi obat.selain itu apoteker bertanggung jawab atas pembuatan sejumlah besar produk farmasi seperti larutan antiseptik, dan lain-lain.
Peran penting lainnya adalah sebagai narasumber informasi obat. Apoteker bekerja sebagai konsultan spesialis untuk profesi kedokteran, dan dapat memberi nasehat kepada staf keperawatan dan profesi kesehatan lain mengenai semua aspek penggunaan obat, dan memberi konsultasi kepada pasien tentang obatnya bila diminta.
Peran Perawat
Karena obat dapat menyembuhkan atau merugikan pasien, maka pemberian obat menjadi salah satu tugas perawat yang paling penting. Perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Perawat yang bertanggung jawab bahwa obat itu diberikan dan memastikan bahwa obat itu benar diminum.
Bila ada obat yang diberikan kepada pasien, hal itu harus menjadi bagian integral dari rencana keperawatan. Perawat yang paling tahu tentang kebutuhan dan respon pasien terhadap pengobatan. Misalnya, pasien yang sukar menelan, muntah atau tidak dapat minum obat tertentu (dalam bentuk kapsul). Faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual atau motorik, yang mungkin menyebabkan pasien sukar makan obat, harus dipertimbangkan.
Rencana perawatan harus mencangkup rencana pemberian obat, bergantung pada hasil pengkajian, pengetahuan tentang kerja dan interaksi obat, efek samping, lama kerja, dan program dokter.
Prinsip Enam Benar
1.Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti !
4.Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.
Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
5.Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
Cara Penyimpanan Obat
Dalam menyimpan obat harus diperhatikan tiga faktor utama, yaitu :
Suhu, adalah faktor terpenting, karena pada umumnya obat itu bersifat termolabil (rusak atau berubah karena panas), untuk itu perhatikan cara penyimpanan masing-masing obat yang berbeda-beda. Misalnya insulin, supositoria disimpan di tempat sejuk < 15°C (tapi tidak boleh beku), vaksin tifoid antara 2 - 10°C, vaksin cacar air harus < 5°C.
Posisi, pada tempat yang terang, letak setinggi mata, bukan tempat umum dan terkunci.
Kedaluwarsa, dapat dihindari dengan cara rotasi stok, dimana obat baru diletakkan dibelakang, yang lama diambil duluan. Perhatikan perubahan warna (dari bening menjadi keruh) pada tablet menjadi basah / bentuknya rusak.
Kesalahan Pemberian Obat
Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain yang mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya lupa memberi obat, memberi obat dua sekaligus sebagai kompensasi, memberi obat yang benar pada waktu yang salah, atau memberi obat yang benar pada rute yang salah.
Jika terjadi kesalahan pemberian obat, perawat yang bersangkutan harus segera menghubungi dokternya atau kepala perawat atau perawat yang senior segera setelah kesalahan itu diketahuinya.
Pedoman KIE Perawat kepada Pasien atau Keluarga
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu dengan benar tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit menahun, seperti asma, artritis rematoid, hipertensi, TB, diabetes melitus, dan lain-lain.
Mengapa Pasien Tidak Patuh dalam Meminum Obatnya ?
Kurang pahamnya pasien terhadap tujuan pengobatan itu.
Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya.
Sukarnya memperoleh obat tersebut di luar rumah sakit.
Mahalnya harga obat.
Kurangnya kepedulian dan perhatian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pemberian obat itu kepada pasien.
Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaanya. Untuk itu sebelum pasien pulang ke rumah, perawat perlu memberikan KIE kepada pasien maupun keluarga tentang :
Nama obatnya.
Kegunaan obat itu.
Jumlah obat untuk dosis tunggal.
Jumlah total kali minum obat.
Waktu obat itu harus diminum (sebelum atau sesudah makan, antibiotik tidak diminum bersama susu)
Untuk berapa hari obat itu harus diminum.
Apakah harus sampai habis atau berhenti setelah keluhan menghilang.
Rute pemberian obat.
Kenali jika ada efek samping atau alergi obat dan cara mengatasinya
Jangan mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai kendaraan bermotor pada terapi obat tertentu misalnya sedatif, antihistamin.
Cara penyimpanan obat, perlu lemari es atau tidak
Setelah obat habis apakah perlu kontrol ulang atau tidak
Sumber :
http://nursingbegin.com/prinsip-enam-benar-dalam-pemberian-obat/
18 April 2009
den ger
Ketika si buah hati Anda sedang sakit tentu kita akan sangat sedih dan berusaha terbaik agar si buah hati cepat sembuh. Ketika kita akan memberi obat pada balita, tentu kita akan merasakan betapa repotnya. Karena bayi tidak bisa meminum obat dengan langsung seperti halnya pada orang dewasa. Sering kali dia akan melakukan aksi-aksi penolakan terhadap obat itu seperti menutup mulut, berontak, atau bahkan memuntahkan kembali obat yang sudah masuk ke mulutnya. Adakalanya obatnya berupa sirup yang terasa manis dan terkadang berasa buah. Nah pasti orang tua harus ekstra sabar didalam memberi obat pada balita. Tips memberi obat pada balita yang ada dibawah ini mungkin bisa dicoba:
1. Memberikan obat pada bayi:
- Gendonglah bayi ketika diberi obat. Posisi menggendongnya, kepala berada lebih tinggi ketimbang badan, agar si bayi tidak tersedak yang bisa berakibat obat masuk ke dalam paru-paru.
- Karena bayi biasanya susah diam, mintalah bantuan orang dewasa atau anak yang lebih besar untuk menenangkannya. Kalau tidak ada orang lain, Anda bisa membungkus tangan dan tubuh bayi dengan selimut agar tangan si bayi tak mengganggu Anda.
- Jika bayi sering memuntahkan kembali obat yang diminumnya, mintalah bantuan seseorang untuk membuka mulutnya dengan lembut. Lalu, dengan lembut pula masukkan obat ke dalam mulut bayi.
- Pemberian obat, yang biasanya berbentuk cair, itu bisa menggunakan sendok atau pipet:
Bila menggunakan sendok, letakkan sendok yang telah disterilkan dan diisi obat pada bibir bagian bawah. Angkat sedikit sendoknya agar obat mengalir ke dalam mulutnya.
Bila menggunakan pipet, isilah pipet dengan sejumlah obat yang sesuai dengan petunjuk dokter. Letakkan pipet obat di sudut mulut bayi dan keluarkan obat perlahan-lahan.
- Pemberian obat tetes untuk hidung, mata, dan telinga pada bayi juga perlu kiat khusus:
Obat tetes hidung:
Tengadahkan sedikit kepala bayi. Perlahan teteskan obat ke setiap lubang hidung.
Hitung jumlah tetesan yang masuk ke hidung. Dua atau tiga tetes biasanya sudah cukup.
Obat tetes mata:
Miringkan sedikit kepala bayi, hingga mata terinfeksi berada di bawah. Dengan cara ini tetesan obat tak mengalir masuk ke mata sehat.
Perlahan tariklah kelopak mata bawah agar obat dapat mudah mengalir.
Obat tetes telinga:
Baringkan bayi pada salah satu sisi dengan lubang telinga terinfeksi berada di atas. Teteskan obat ke dalam lubang telinga yang sakit.
Buat bayi tetap diam agar obat benar-benar masuk ke lubang telinga bagian dalam.
Sebelum obat tetes tersebut diberikan, ada baiknya hal-hal berikut ini diperhatikan:
a. Rendam obat tetes dengan posisi tegak dalam tabung berisi air suam-suam kuku selama beberapa menit, agar ketika diteteskan dan masuk ke lubang hidung atau telinga, anak tidak terlalu kaget.
b. Jangan sentuhkan obat tetes ke hidung, telinga, atau mata agar bakteri tidak berpindah ke dalam botol obat.
c. Perhatikan batas waktu pemakaian obat itu. Obat kadaluwarsa akan memperburuk peradangan atau kondisi bayi yang diobati.
2. Memberikan obat pada anak-anak:
- Mintalah anak menutup lubang hidung saat meminum obat agar rasa obat tak terlalu keras.
- Campurlah obat, terutama yang berupa tablet, dengan sirup atau madu agar tak terasa pahit.
- Jangan larutkan obat dengan air di gelas karena ada kemungkinan obat mengendap dan tak terminum si anak.
- Mintalah anak untuk menggosok gigi setelah meminum obat yang manis agar tidak menempel di gigi.
Sumber :
http://www.f-buzz.com/2008/10/09/tips-memberi-obat-pada-balita/
9 Oktober 2008
1. Memberikan obat pada bayi:
- Gendonglah bayi ketika diberi obat. Posisi menggendongnya, kepala berada lebih tinggi ketimbang badan, agar si bayi tidak tersedak yang bisa berakibat obat masuk ke dalam paru-paru.
- Karena bayi biasanya susah diam, mintalah bantuan orang dewasa atau anak yang lebih besar untuk menenangkannya. Kalau tidak ada orang lain, Anda bisa membungkus tangan dan tubuh bayi dengan selimut agar tangan si bayi tak mengganggu Anda.
- Jika bayi sering memuntahkan kembali obat yang diminumnya, mintalah bantuan seseorang untuk membuka mulutnya dengan lembut. Lalu, dengan lembut pula masukkan obat ke dalam mulut bayi.
- Pemberian obat, yang biasanya berbentuk cair, itu bisa menggunakan sendok atau pipet:
Bila menggunakan sendok, letakkan sendok yang telah disterilkan dan diisi obat pada bibir bagian bawah. Angkat sedikit sendoknya agar obat mengalir ke dalam mulutnya.
Bila menggunakan pipet, isilah pipet dengan sejumlah obat yang sesuai dengan petunjuk dokter. Letakkan pipet obat di sudut mulut bayi dan keluarkan obat perlahan-lahan.
- Pemberian obat tetes untuk hidung, mata, dan telinga pada bayi juga perlu kiat khusus:
Obat tetes hidung:
Tengadahkan sedikit kepala bayi. Perlahan teteskan obat ke setiap lubang hidung.
Hitung jumlah tetesan yang masuk ke hidung. Dua atau tiga tetes biasanya sudah cukup.
Obat tetes mata:
Miringkan sedikit kepala bayi, hingga mata terinfeksi berada di bawah. Dengan cara ini tetesan obat tak mengalir masuk ke mata sehat.
Perlahan tariklah kelopak mata bawah agar obat dapat mudah mengalir.
Obat tetes telinga:
Baringkan bayi pada salah satu sisi dengan lubang telinga terinfeksi berada di atas. Teteskan obat ke dalam lubang telinga yang sakit.
Buat bayi tetap diam agar obat benar-benar masuk ke lubang telinga bagian dalam.
Sebelum obat tetes tersebut diberikan, ada baiknya hal-hal berikut ini diperhatikan:
a. Rendam obat tetes dengan posisi tegak dalam tabung berisi air suam-suam kuku selama beberapa menit, agar ketika diteteskan dan masuk ke lubang hidung atau telinga, anak tidak terlalu kaget.
b. Jangan sentuhkan obat tetes ke hidung, telinga, atau mata agar bakteri tidak berpindah ke dalam botol obat.
c. Perhatikan batas waktu pemakaian obat itu. Obat kadaluwarsa akan memperburuk peradangan atau kondisi bayi yang diobati.
2. Memberikan obat pada anak-anak:
- Mintalah anak menutup lubang hidung saat meminum obat agar rasa obat tak terlalu keras.
- Campurlah obat, terutama yang berupa tablet, dengan sirup atau madu agar tak terasa pahit.
- Jangan larutkan obat dengan air di gelas karena ada kemungkinan obat mengendap dan tak terminum si anak.
- Mintalah anak untuk menggosok gigi setelah meminum obat yang manis agar tidak menempel di gigi.
Sumber :
http://www.f-buzz.com/2008/10/09/tips-memberi-obat-pada-balita/
9 Oktober 2008
den ger
Kementerian Kesehatan (Kemkes) meminta pabrik obat dan pedagang besar farmasi (PBF) menetapkan harga obat Generik berdasar harga neto apotek (HNA) dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai patokan harga tertinggi. Apotek pun diminta menjual obat generik berdasarkan harga eceran tertinggi.
"Tetapi dalam rangka menjamin ketersediaan dan pemerataan obat generik, pabrik obat dan PBF dapat menambahkan biaya distribusi maksimum sebesar 5% untuk Regional I-II, 10% untuk Regional III dan 20% untuk Regional IV," demikian rilis dari Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan, Jakarta (6/2/2010).
Regional I meliputi provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung dan Banten. Regional II yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Nusa Tenggara Barat. Regional III, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Sedangkan Regional IV meliputi provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, pihak apotek, RS dan sarana pelayanan kesehatan lainnya yang melayani penyerahan obat generik juga harus menggunakan harga eceran tertinggi (HET) sebagai harga patokan tertinggi dan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
Jenis obat obat generik yang dimaksud meliputi 453 item, antara lain obat malaria ACT (Artesunate tablet 50 mg + Amocliaquine anhydrida tablet 200 mg, kemasan 2 blister @ 12 tablet/kotak) dengan HNA+PPN Rp 33.000 dan HET Rp 41.250.
Lalu, obat maag Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kemasan botol 1000 tablet kunyah, dengan HNA+PPN Rp 30.530 dan HET Rp 38.163. Antasida DOEN 1 tablet kunyah (kombinasi: Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kotak 10x10 tablet kunyah) dengan harga HNA+PPN sebesar Rp 9,117 dan HET Rp 11.396.
Kemudian penghilang sakit Antimigren (Ergotamin Tartrat 1 mg + Kofein 50 mg, kemasan botol 100 tablet, dengan harga HNA+PPN Rp 10.280 dan HET Rp 12.850. Diazepam tablet 2 mg (kemasan botol 1000 tablet) harga HNA+PPN Rp 19.800 dan HET Rp 24.750.
"Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri No. 302/Menkes/SK/III/2008 tentang Harga obat generik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi," demikian rilis. (amd/fay)
Sumber :
Amanda Ferdina - detikNews
http://www.detiknews.com/read/2010/02/06/162800/1294362/10/kemkes-tetapkan-harga-baru-obat-generik
6 Februari 2010
"Tetapi dalam rangka menjamin ketersediaan dan pemerataan obat generik, pabrik obat dan PBF dapat menambahkan biaya distribusi maksimum sebesar 5% untuk Regional I-II, 10% untuk Regional III dan 20% untuk Regional IV," demikian rilis dari Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan, Jakarta (6/2/2010).
Regional I meliputi provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung dan Banten. Regional II yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Nusa Tenggara Barat. Regional III, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Sedangkan Regional IV meliputi provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, pihak apotek, RS dan sarana pelayanan kesehatan lainnya yang melayani penyerahan obat generik juga harus menggunakan harga eceran tertinggi (HET) sebagai harga patokan tertinggi dan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
Jenis obat obat generik yang dimaksud meliputi 453 item, antara lain obat malaria ACT (Artesunate tablet 50 mg + Amocliaquine anhydrida tablet 200 mg, kemasan 2 blister @ 12 tablet/kotak) dengan HNA+PPN Rp 33.000 dan HET Rp 41.250.
Lalu, obat maag Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kemasan botol 1000 tablet kunyah, dengan HNA+PPN Rp 30.530 dan HET Rp 38.163. Antasida DOEN 1 tablet kunyah (kombinasi: Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kotak 10x10 tablet kunyah) dengan harga HNA+PPN sebesar Rp 9,117 dan HET Rp 11.396.
Kemudian penghilang sakit Antimigren (Ergotamin Tartrat 1 mg + Kofein 50 mg, kemasan botol 100 tablet, dengan harga HNA+PPN Rp 10.280 dan HET Rp 12.850. Diazepam tablet 2 mg (kemasan botol 1000 tablet) harga HNA+PPN Rp 19.800 dan HET Rp 24.750.
"Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri No. 302/Menkes/SK/III/2008 tentang Harga obat generik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi," demikian rilis. (amd/fay)
Sumber :
Amanda Ferdina - detikNews
http://www.detiknews.com/read/2010/02/06/162800/1294362/10/kemkes-tetapkan-harga-baru-obat-generik
6 Februari 2010
den ger
Kalau ada dokter yang tidak meresepkan obat generik ke pasiennya, siapa yang harus menegur, atau berwenang memberi sanksi? Depkes, direktur RS, atau pemda?Istilah obat generik mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Selain harganya yang relatif murah dibandingkan obat yang bermerek (paten), mutunya pun tidak kalah dengan obat paten.
Obat generik biasanya dikonsumsi oleh masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu. Pemerintah pun sudah menetapkan aturan tentang penggunaan obat generik. Namun, secara umum industri obat generik dan obat paten di Indonesia masih tertinggal dibandingkan industri obat luar negeri. Menurut Anggota Komisi IX DPR RI, Prof Dr dr Sudigdo Adi SpKK (K), obat generik kini sudah semua diproduksi di dalam negeri. Hanya saja, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini masih lemah.
Ini, lanjutnya, berbeda dari kondisi di luar negeri. Produsen obat generik sangat gencar melakukan promosi tentang produknya. Biaya untuk promosi itu dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. ''Di sini anggaran untuk promosi obat generik justru malah diturunkan. Akibatnya, promosinya menjadi jelek,'' ujarnya kepada wartawan usai berbicara pada seminar tentang Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Masyarakat, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Promosi dan penelitian
Menurut Sudigdo, anggaran promosi obat generik seharusnya ditingkatkan sehingga masyarakat mengetahui keunggulan dan kelebihannya. Bagi orang awam, diberi obat yang murah barangkali tidak masalah dan bisa menerima. Namun, kalangan intelektual dan kalangan dokter memerlukan evidence (fakta, bukti) dan komparasi dengan obat paten. Artinya, diperlukan juga penelitian dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
''Di sisi lain pemerintah juga tidak menegakkan aturan tentang penggunaan obat generik ini. Padahal itu sudah ada. Political will pemerintah juga sangat dibutuhkan. Berani atau tidak pemerintah dengan harga obat generik tetap tapi keuntungannya digunakan untuk promosi dan penelitian?'' Sudigdo bertanya.
Mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) Sudigdo mengatakan, di Indonesia terdapat sekitar 110 juta masyarakat miskin. Jika 10 persennya membeli obat generik setiap hari seharga Rp 1.000, maka dalam satu hari belanja obatnya mencapai Rp 11 miliar. Jika, keuntungannya 10 persen, maka dalam satu hari tercatat keuntungan sebesar Rp 1,1 miliar. Dengan demikian bisa dihitung keuntungan penjualan obat generik ini dalam satu tahun.
Masalahnya, lanjut Sudigdo, apakah pemerintah mau menyisihkan bagian dari keuntungan itu untuk keperluan penelitian dan promosi. ''Selama 30 tahun orde baru kita tidak pernah mengembangkan penelitian dasar. Itu kelemahan kita. India bisa maju industri obatnya karena mereka mengembangkan penelitian dasar,'' ungkapnya. Akibatnya, lanjut Sudigdo, Indonesia tidak pernah mengembangkan industri hulu di bidang obat. Sehingga hampir semua bahan baku obat diimpor yang tentu saja harga obat menjadi mahal. Padahal, kalau mau pemerintah bisa membuat industri hulu di bidang obat karena bahan bakunya sebenarnya tersedia di sini.
Kewenangan sanksi
Kemandirian dalam industri obat ini, menurutnya, sangat dibutuhkan. Ini agar industri obat dalam negeri bisa maju dan berkembang. ''Awalnya buatan kita mungkin lebih jelek dibandingkan buatan luar negeri. Itu biasa karena baru permulaan. Tapi 10 tahun kemudian pasti kualitasnya akan meningkat. Jadi, kembali ke mentalitas dan political will tadi,'' tandasnya.
Pada kesempatan sama Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Yanfar) Departemen Kesehatan, Krisna Tirta Wijaya, mengemukakan, peraturan tentang penggunaan obat generik bagi dokter sudah ada. Dalam hal ini dokter wajib memberikan obat generik bagi masyarakat kurang mampu. Namun, pihaknya tidak bisa langsung memberikan sanksi jika ada dokter yang melanggarnya. ''Kewenangan memberikan sanksi itu ada pada direktur rumah sakitnya. Ditambah lagi sekarang kan era otonomi daerah di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat diberikan ke daerah,'' ujarnya.
Menurut Krisna, pihaknya sudah melakukan sosialisasi tentang obat generik. Anggaran promosi tahun lalu mencapai Rp 1 miliar. Pada sosialisasi tersebut pihaknya menyampaikan kepada masyarakat untuk meminta obat generik kepada dokter ketika berobat. Di puskemas, lanjutnya, hampir 100 persen obat yang digunakan adalah obat generik. Masalahnya, rumah sakit rujukan puskesmas kadang tidak memakai obat generik. ''Pemerintah menjamin ketersediaan obat generik bagi masyarakat yang tidak mampu. Selama ini memang masih ada yang meragukan mutu obat generik ini. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi sasaran pasar obat generik,'' jelasnya.
Presiden Direktur PT Indofarma Tbk, M Dani Pratomo, menyatakan kelemahan kita selama ini adalah tidak melakukan penelitian dasar. Padahal, itu sangat penting untuk pengembangan obat dalam negeri. Akibatnya, bahan baku pembuatan masih diimpor, dan ini yang membuat harga obat menjadi mahal. ''Tapi ke depan kami akan lebih kreatif lagi. Obat generik saat ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga sudah menyangkut aspek ketahanan nasional,'' ujarnya.
Kendala di Lapangan
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Azrul Azwar, mengemukakan, upaya menggalakkan penggunaan obat esensial generik di Indonesia telah dimulai sejak 1989. Yaitu, ketika SK Menkes Nomor 85 Tahun 1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di fasilitas kesehatan pemerintah ditetapkan.
Untuk lebih mendukung penggunaan obat esensial generik tersebut beberapa ketentuan lainnya juga dikeluarkan, seperti SK Menkes Nomor 988 Tahun 2004 tentang pencantuman nama generik pada label obat dan SK Menkes Nomor 12 Tahun 2005 tentang harga jual obat generik.''Ketentuan tentang produksi obat generik melalui cara pembuatan obat yang baik (CPOB) serta promosi penggunaan obat generik juga telah mendapatkan pengaturan. Dengan adanya berbagai peraturan ini diharapkan penggunaan obat-obat generik di pelayanan kesehatan akan lebih meningkat,'' kata Azrul pada seminar Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Azrul menyatakan, untuk mendukung penggunaan obat generik di pelayanan kesehatan primer pemerintah telah mewajibkan apotek dan toko obat yang ada di kabupaten/kota menyediakan obat esensial dengan nama generik. Dinas kesehatan kabupaten/kota, sebagai penanggung jawab kesehatan di wilayah, juga diimbau untuk membuat kebijakan penggunaan obat generik sehingga dapat diterima dan diterapkan oleh sarana pelayanan kesehatan swasta.
Menurutnya, bila kebijakan pemakaian obat generik dapat diterapkan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh. Antara lain dapat menghemat biaya berobat. ''Dibandingkan dengan obat paten, harga obat generik 20 - 60 persen lebih murah. Sementara khasiat obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena zat yang terkandung di dalamnya sama dengan obat paten,'' imbuhnya.
Namun pada praktiknya, ujar Azrul, penggunaan obat generik ini masih menghadapi banyak kendala. Di antaranya, masih ada anggota masyarakat enggan menggunakan obat generik karena menganggap sebagai obat murah, tidak bermutu, dan kurang efektif dibanding obat paten. Selain itu, juga masih ditemukan kalangan dokter enggan memberikan obat generik karena menganggap tidak bermutu dan kurang efektif dibanding obat paten. ''Kampanye obat esensial dengan nama generik memang tidak segalak kampanye obat berlogo atau obat paten. Tidak heran jika masih ditemukan sebagain anggota masyarakat dan dokter yang belum dapat menerima obat generik ini,'' ungkapnya.
( jar )
Sumber:
http://www.republika.co.id/, dalam :
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1110347915,99818,
10 Maret 2005
Obat generik biasanya dikonsumsi oleh masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu. Pemerintah pun sudah menetapkan aturan tentang penggunaan obat generik. Namun, secara umum industri obat generik dan obat paten di Indonesia masih tertinggal dibandingkan industri obat luar negeri. Menurut Anggota Komisi IX DPR RI, Prof Dr dr Sudigdo Adi SpKK (K), obat generik kini sudah semua diproduksi di dalam negeri. Hanya saja, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini masih lemah.
Ini, lanjutnya, berbeda dari kondisi di luar negeri. Produsen obat generik sangat gencar melakukan promosi tentang produknya. Biaya untuk promosi itu dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. ''Di sini anggaran untuk promosi obat generik justru malah diturunkan. Akibatnya, promosinya menjadi jelek,'' ujarnya kepada wartawan usai berbicara pada seminar tentang Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Masyarakat, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Promosi dan penelitian
Menurut Sudigdo, anggaran promosi obat generik seharusnya ditingkatkan sehingga masyarakat mengetahui keunggulan dan kelebihannya. Bagi orang awam, diberi obat yang murah barangkali tidak masalah dan bisa menerima. Namun, kalangan intelektual dan kalangan dokter memerlukan evidence (fakta, bukti) dan komparasi dengan obat paten. Artinya, diperlukan juga penelitian dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
''Di sisi lain pemerintah juga tidak menegakkan aturan tentang penggunaan obat generik ini. Padahal itu sudah ada. Political will pemerintah juga sangat dibutuhkan. Berani atau tidak pemerintah dengan harga obat generik tetap tapi keuntungannya digunakan untuk promosi dan penelitian?'' Sudigdo bertanya.
Mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) Sudigdo mengatakan, di Indonesia terdapat sekitar 110 juta masyarakat miskin. Jika 10 persennya membeli obat generik setiap hari seharga Rp 1.000, maka dalam satu hari belanja obatnya mencapai Rp 11 miliar. Jika, keuntungannya 10 persen, maka dalam satu hari tercatat keuntungan sebesar Rp 1,1 miliar. Dengan demikian bisa dihitung keuntungan penjualan obat generik ini dalam satu tahun.
Masalahnya, lanjut Sudigdo, apakah pemerintah mau menyisihkan bagian dari keuntungan itu untuk keperluan penelitian dan promosi. ''Selama 30 tahun orde baru kita tidak pernah mengembangkan penelitian dasar. Itu kelemahan kita. India bisa maju industri obatnya karena mereka mengembangkan penelitian dasar,'' ungkapnya. Akibatnya, lanjut Sudigdo, Indonesia tidak pernah mengembangkan industri hulu di bidang obat. Sehingga hampir semua bahan baku obat diimpor yang tentu saja harga obat menjadi mahal. Padahal, kalau mau pemerintah bisa membuat industri hulu di bidang obat karena bahan bakunya sebenarnya tersedia di sini.
Kewenangan sanksi
Kemandirian dalam industri obat ini, menurutnya, sangat dibutuhkan. Ini agar industri obat dalam negeri bisa maju dan berkembang. ''Awalnya buatan kita mungkin lebih jelek dibandingkan buatan luar negeri. Itu biasa karena baru permulaan. Tapi 10 tahun kemudian pasti kualitasnya akan meningkat. Jadi, kembali ke mentalitas dan political will tadi,'' tandasnya.
Pada kesempatan sama Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Yanfar) Departemen Kesehatan, Krisna Tirta Wijaya, mengemukakan, peraturan tentang penggunaan obat generik bagi dokter sudah ada. Dalam hal ini dokter wajib memberikan obat generik bagi masyarakat kurang mampu. Namun, pihaknya tidak bisa langsung memberikan sanksi jika ada dokter yang melanggarnya. ''Kewenangan memberikan sanksi itu ada pada direktur rumah sakitnya. Ditambah lagi sekarang kan era otonomi daerah di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat diberikan ke daerah,'' ujarnya.
Menurut Krisna, pihaknya sudah melakukan sosialisasi tentang obat generik. Anggaran promosi tahun lalu mencapai Rp 1 miliar. Pada sosialisasi tersebut pihaknya menyampaikan kepada masyarakat untuk meminta obat generik kepada dokter ketika berobat. Di puskemas, lanjutnya, hampir 100 persen obat yang digunakan adalah obat generik. Masalahnya, rumah sakit rujukan puskesmas kadang tidak memakai obat generik. ''Pemerintah menjamin ketersediaan obat generik bagi masyarakat yang tidak mampu. Selama ini memang masih ada yang meragukan mutu obat generik ini. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi sasaran pasar obat generik,'' jelasnya.
Presiden Direktur PT Indofarma Tbk, M Dani Pratomo, menyatakan kelemahan kita selama ini adalah tidak melakukan penelitian dasar. Padahal, itu sangat penting untuk pengembangan obat dalam negeri. Akibatnya, bahan baku pembuatan masih diimpor, dan ini yang membuat harga obat menjadi mahal. ''Tapi ke depan kami akan lebih kreatif lagi. Obat generik saat ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga sudah menyangkut aspek ketahanan nasional,'' ujarnya.
Kendala di Lapangan
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Azrul Azwar, mengemukakan, upaya menggalakkan penggunaan obat esensial generik di Indonesia telah dimulai sejak 1989. Yaitu, ketika SK Menkes Nomor 85 Tahun 1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di fasilitas kesehatan pemerintah ditetapkan.
Untuk lebih mendukung penggunaan obat esensial generik tersebut beberapa ketentuan lainnya juga dikeluarkan, seperti SK Menkes Nomor 988 Tahun 2004 tentang pencantuman nama generik pada label obat dan SK Menkes Nomor 12 Tahun 2005 tentang harga jual obat generik.''Ketentuan tentang produksi obat generik melalui cara pembuatan obat yang baik (CPOB) serta promosi penggunaan obat generik juga telah mendapatkan pengaturan. Dengan adanya berbagai peraturan ini diharapkan penggunaan obat-obat generik di pelayanan kesehatan akan lebih meningkat,'' kata Azrul pada seminar Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Azrul menyatakan, untuk mendukung penggunaan obat generik di pelayanan kesehatan primer pemerintah telah mewajibkan apotek dan toko obat yang ada di kabupaten/kota menyediakan obat esensial dengan nama generik. Dinas kesehatan kabupaten/kota, sebagai penanggung jawab kesehatan di wilayah, juga diimbau untuk membuat kebijakan penggunaan obat generik sehingga dapat diterima dan diterapkan oleh sarana pelayanan kesehatan swasta.
Menurutnya, bila kebijakan pemakaian obat generik dapat diterapkan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh. Antara lain dapat menghemat biaya berobat. ''Dibandingkan dengan obat paten, harga obat generik 20 - 60 persen lebih murah. Sementara khasiat obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena zat yang terkandung di dalamnya sama dengan obat paten,'' imbuhnya.
Namun pada praktiknya, ujar Azrul, penggunaan obat generik ini masih menghadapi banyak kendala. Di antaranya, masih ada anggota masyarakat enggan menggunakan obat generik karena menganggap sebagai obat murah, tidak bermutu, dan kurang efektif dibanding obat paten. Selain itu, juga masih ditemukan kalangan dokter enggan memberikan obat generik karena menganggap tidak bermutu dan kurang efektif dibanding obat paten. ''Kampanye obat esensial dengan nama generik memang tidak segalak kampanye obat berlogo atau obat paten. Tidak heran jika masih ditemukan sebagain anggota masyarakat dan dokter yang belum dapat menerima obat generik ini,'' ungkapnya.
( jar )
Sumber:
http://www.republika.co.id/, dalam :
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1110347915,99818,
10 Maret 2005
den ger
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mendesak para dokter untuk memasukkan obat generik dalam resepnya. Departemen Kesehatan dalam waktu dekat juga akan melaksanakan revitalisasi (memperkuat kembali) penggunaan obat generik untuk para pasien.
“Jaminan terhadap keamanan, khasiat dan mutu serta penyebaran yang merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia, juga sangat perlu diperhatikan,” kata Menkes Endang, akhir pekan lalu.
Menurut Menkes, penggalakkan kembali penggunaan obat generic diterapkan di sarana pelayanan kesehatan, utamanya milik pemerintah, seperti Puskesmas. Dalam hal ini revitalisasi yang akan dilakukan yakni peningkatan efisiensi penggunaan obat melalui penggunaan obat yang rasionaldan harga terjangkau, harus dilaksanakan didasarkan ‘risk-benefit ratio’ dan ‘cost benefit ratio’.
“Diharapkan organisasi profesi dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia)berperan agar para dokter meresepkan obat generrik,” kata Menkes mengharap.
Peningkatan promosi penggunaan obat yang rasional, utamanya obat esensial generic ini, untuk menyeimbangkan promosi iklan obat yang berlebihan. Caranya dengan pendekatan edukatif bagi masyarakat dan profesi kesehatan. Ketentuan yang jelas tentang etika promosi obat yang lebih etis dan obyektif serta implementasi dari ‘code of conduct’.
Untuk menjamin kesinambungan suplai obat, Menkes Endang menyarankan agar meningkatkan daya saing industry farmasi nasional dan infrasstruktur jaringan distribusi. Jika perlu berikan insntif ekonomi yang wajar tanpa mengabaikan jaminan terhadap khasiat, kemanan dan mutu.
Untuk program jangka panjang penggunaan obat generic tersebut, Menkes menyarankan dilakukan melalui skim Managed Care atau Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melonatkan provider (dokter, rumah sakit dan pasien).
Sumber:
http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=1183, dalam :
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=11619&Itemid=1204
19 Januari 2010
“Jaminan terhadap keamanan, khasiat dan mutu serta penyebaran yang merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia, juga sangat perlu diperhatikan,” kata Menkes Endang, akhir pekan lalu.
Menurut Menkes, penggalakkan kembali penggunaan obat generic diterapkan di sarana pelayanan kesehatan, utamanya milik pemerintah, seperti Puskesmas. Dalam hal ini revitalisasi yang akan dilakukan yakni peningkatan efisiensi penggunaan obat melalui penggunaan obat yang rasionaldan harga terjangkau, harus dilaksanakan didasarkan ‘risk-benefit ratio’ dan ‘cost benefit ratio’.
“Diharapkan organisasi profesi dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia)berperan agar para dokter meresepkan obat generrik,” kata Menkes mengharap.
Peningkatan promosi penggunaan obat yang rasional, utamanya obat esensial generic ini, untuk menyeimbangkan promosi iklan obat yang berlebihan. Caranya dengan pendekatan edukatif bagi masyarakat dan profesi kesehatan. Ketentuan yang jelas tentang etika promosi obat yang lebih etis dan obyektif serta implementasi dari ‘code of conduct’.
Untuk menjamin kesinambungan suplai obat, Menkes Endang menyarankan agar meningkatkan daya saing industry farmasi nasional dan infrasstruktur jaringan distribusi. Jika perlu berikan insntif ekonomi yang wajar tanpa mengabaikan jaminan terhadap khasiat, kemanan dan mutu.
Untuk program jangka panjang penggunaan obat generic tersebut, Menkes menyarankan dilakukan melalui skim Managed Care atau Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melonatkan provider (dokter, rumah sakit dan pasien).
Sumber:
http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=1183, dalam :
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=11619&Itemid=1204
19 Januari 2010
den ger
Apa Interaksi Obat Itu?
Takaran obat resep harus cukup tinggi untuk menyerang penyakit yang bersangkutan, tetapi cukup rendah agar terhindar munculnya efek samping yang berat. Obat lain, baik non-resep atau narkoba, jamu, atau bahkan makanan kadang kala mengakibatkan perubahan besar pada jumlah suatu obat dalam aliran darah kita. Hal ini diketahui sebagai ‘interaksi obat’. Interaksi obat adalah masalah yang penting karena tingkat obat yang terlalu tinggi dalam aliran darah dapat mengakibatkan efek samping yang berat. Sebaliknya tingkat obat yang terlalu rendah dapat berarti obat tersebut tidak berhasil.
Semua orang yang memakai obat antiretroviral (ARV) harus sangat waspada terhadap interaksi obat. Pastikan dokter mengetahui semua obat, suplemen dan jamu yang kita pakai.
Bagaimana Tubuh Kita Mengelola Obat?
Tubuh kita mengenal obat sebagai ‘zat asing.’ Jadi obat diuraikan oleh tubuh, biasanya sebagai air seni atau kotoran (tinja). Banyak obat dikeluarkan tanpa perubahan oleh ginjal dalam air seni. Obat lain harus diuraikan oleh hati kita. Enzim di hati mengubah molekul obat, yang kemudian dikeluarkan dalam air seni atau tinja.
Waktu kita meminum pil, obat jalan dari perut ke usus dan kemudian masuk hati sebelum mengalir ke bagian tubuh yang lain. Jika obat mudah diuraikan oleh hati, hanya sedikit obat sampai ke tubuh.
Bagaimana Obat Saling Berinteraksi?
Interaksi obat yang paling umum melibatkan hati. Beberapa obat dapat memperlambat atau mempercepat proses enzim hati. Ini dapat mengakibatkan perubahan besar pada tingkat obat lain dalam aliran darah, jika obat tersebut diuraikan oleh enzim yang sama.
Beberapa obat memperlambat proses ginjal. Ini meningkatkan tingkat bahan kimia yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal.
Mengapa Ada Masalah dengan Makanan?
Pil apa pun yang kita minum melalui perut kita, lalu diserap dan masuk ke aliran darah. Kebanyakan obat diserap lebih cepat jika perutnya kosong. Penyerapan lebih cepat adalah baik untuk beberapa obat, tetapi juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat. Beberapa obat harus dipakai dengan makanan agar diuraikan lebih lambat atau untuk mengurangi efek samping. Beberapa obat lain melarutkan dalam lemak, sehingga diserap lebih cepat. Oleh karena ini, ada obat yang harus dipakai dengan makanan berlemak agar cukup diserap. Namun hal ini juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat, misalnya untuk efavirenz.
Asam perut menguraikan beberapa obat, termasuk ddI. Tablet ddI asli termasuk dapar atau ‘buffer’ – bahan antiasam yang melindungi obat tersebut dari asam perut. Namun dapar tersebut mengganggu penyerapan indinavir, jadi ddI tidak boleh dipakai sekaligus dengan indinavir. Versi ddI baru (EC) lebih mudah dipakai.
Obat Apa yang Mengakibatkan Interaksi Terbanyak?
Protease inhibitor (PI) dan NNRTI diuraikan oleh hati dan mengakibatkan banyak interaksi.
Beberapa jenis obat lain yang kemungkinan akan menimbulkan interaksi termasuk:
Obat antijamur dengan nama yang diakhiri dengan ‘azol’ (mis. flukonazol)
Beberapa antibiotik dengan nama yang diakhiri dengan ‘misin’ (mis. klindamisin)
Obat antiasam simetidin
Beberapa obat yang dipakai untuk mencegah konvulsi, termasuk fenitoin dan karbamazipin
CATATAN: Ini bukan daftar lengkap. Obat lain juga dapat mengakibatkan interaksi.Ada beberapa obat yang tidak boleh dipakai secara bersamaan (kontraindikasi), karena dapat mengakibatkan hasil yang gawat. Untuk informasi lebih rinci mengenai interaksi antara ARV dan obat lain, lihat Lembaran Informasi (LI) 910 dan LI 911.
Apakah Ada Obat Lain yang Butuh Perhatian Khusus?
Dengan beberapa obat, hanya sedikit kelebihan dapat mengakibatkan overdosis yang berbahaya, dan jika jumlah hanya sedikit kekurangan, obat mungkin tidak berhasil. Obat tersebut dikenal dengan ‘indeks terapeutik yang sempit’. Jika kita memakai obat jenis ini, interaksi apa pun dapat gawat atau bahkan mematikan.
Yang harus diperhatikan termasuk:
Beberapa obat yang dipakai untuk mengobati depresi
Beberapa antihistamin (antialergi)
Obat yang mengendalikan denyut jantung
Beberapa obat penawar rasa nyeri yang berasal dari opium
Kisaprid, yang meningkatkan pengeluaran air besar
Beberapa obat sedatif (penenang), termasuk triazolam
Obat pengencer darah
Metadon (lihat LI 670 dan buprenorfin (LI 671)
Beberapa obat untuk mengobati disfungsi ereksi (mis. Viagra)
Beberapa obat untuk mengobati TB, terutama rifampisin
Obat lain yang harus diperhatikan termasuk narkoba. Belum ada penelitian yang teliti terhadap interaksi dengan narkoba, tetapi ada laporan tentang overdosis dan kematian diakibatkan penggunaan narkoba sekaligus dengan ARV. Untuk informasi lebih lanjut, lihat LI 680.
Perempuan yang memakai pil KB sebaiknya bicara dengan dokter tentang interaksi obat. Beberapa ARV dapat menurunkan tingkat obat KB ini, dan menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Bagaiamana dengan Jamu?
Belum ada banyak penelitian tentang interaksi antara jamu dan obat-obatan. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa St. John’s Wort (hiperisin) dikontraindikasi dengan semua PI dan NNRTI. Bawang putih dapat menurunkan tingkat ARV dalam aliran darah. Suplemen bawang putih, atau mungkin jumlah bawang putih yang besar dalam makanan, dapat mengakibatkan masalah untuk seseorang yang memakai saquinavir sebagai satu-satunya PI dalam rejimennya.
Garis Bawah
Banyak ARV dapat berinteraksi dengan obat lain, narkoba, atau jamu, dan daftar interaksi semakin panjang – lihat LI 910 dan LI 911. Interaksi itu dapat mengakibatkan overdosis beberapa obat dan kelebihan dosis ini dapat gawat atau mematikan. Interaksi juga dapat mengakibatkan tingkat obat yang terlalu rendah dalam aliran darah. Kita dan dokter sebaiknya meninjau lembaran informasi yang ada di dalam kemasan semua obat. Minta informasi tersebut untuk setiap obat yang dipakai. Juga, menentukan bahwa dokter meninjau SEMUA obat, narkoba dan jamu yang kita pakai.
Sumber :
http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=407
Takaran obat resep harus cukup tinggi untuk menyerang penyakit yang bersangkutan, tetapi cukup rendah agar terhindar munculnya efek samping yang berat. Obat lain, baik non-resep atau narkoba, jamu, atau bahkan makanan kadang kala mengakibatkan perubahan besar pada jumlah suatu obat dalam aliran darah kita. Hal ini diketahui sebagai ‘interaksi obat’. Interaksi obat adalah masalah yang penting karena tingkat obat yang terlalu tinggi dalam aliran darah dapat mengakibatkan efek samping yang berat. Sebaliknya tingkat obat yang terlalu rendah dapat berarti obat tersebut tidak berhasil.
Semua orang yang memakai obat antiretroviral (ARV) harus sangat waspada terhadap interaksi obat. Pastikan dokter mengetahui semua obat, suplemen dan jamu yang kita pakai.
Bagaimana Tubuh Kita Mengelola Obat?
Tubuh kita mengenal obat sebagai ‘zat asing.’ Jadi obat diuraikan oleh tubuh, biasanya sebagai air seni atau kotoran (tinja). Banyak obat dikeluarkan tanpa perubahan oleh ginjal dalam air seni. Obat lain harus diuraikan oleh hati kita. Enzim di hati mengubah molekul obat, yang kemudian dikeluarkan dalam air seni atau tinja.
Waktu kita meminum pil, obat jalan dari perut ke usus dan kemudian masuk hati sebelum mengalir ke bagian tubuh yang lain. Jika obat mudah diuraikan oleh hati, hanya sedikit obat sampai ke tubuh.
Bagaimana Obat Saling Berinteraksi?
Interaksi obat yang paling umum melibatkan hati. Beberapa obat dapat memperlambat atau mempercepat proses enzim hati. Ini dapat mengakibatkan perubahan besar pada tingkat obat lain dalam aliran darah, jika obat tersebut diuraikan oleh enzim yang sama.
Beberapa obat memperlambat proses ginjal. Ini meningkatkan tingkat bahan kimia yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal.
Mengapa Ada Masalah dengan Makanan?
Pil apa pun yang kita minum melalui perut kita, lalu diserap dan masuk ke aliran darah. Kebanyakan obat diserap lebih cepat jika perutnya kosong. Penyerapan lebih cepat adalah baik untuk beberapa obat, tetapi juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat. Beberapa obat harus dipakai dengan makanan agar diuraikan lebih lambat atau untuk mengurangi efek samping. Beberapa obat lain melarutkan dalam lemak, sehingga diserap lebih cepat. Oleh karena ini, ada obat yang harus dipakai dengan makanan berlemak agar cukup diserap. Namun hal ini juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat, misalnya untuk efavirenz.
Asam perut menguraikan beberapa obat, termasuk ddI. Tablet ddI asli termasuk dapar atau ‘buffer’ – bahan antiasam yang melindungi obat tersebut dari asam perut. Namun dapar tersebut mengganggu penyerapan indinavir, jadi ddI tidak boleh dipakai sekaligus dengan indinavir. Versi ddI baru (EC) lebih mudah dipakai.
Obat Apa yang Mengakibatkan Interaksi Terbanyak?
Protease inhibitor (PI) dan NNRTI diuraikan oleh hati dan mengakibatkan banyak interaksi.
Beberapa jenis obat lain yang kemungkinan akan menimbulkan interaksi termasuk:
Obat antijamur dengan nama yang diakhiri dengan ‘azol’ (mis. flukonazol)
Beberapa antibiotik dengan nama yang diakhiri dengan ‘misin’ (mis. klindamisin)
Obat antiasam simetidin
Beberapa obat yang dipakai untuk mencegah konvulsi, termasuk fenitoin dan karbamazipin
CATATAN: Ini bukan daftar lengkap. Obat lain juga dapat mengakibatkan interaksi.Ada beberapa obat yang tidak boleh dipakai secara bersamaan (kontraindikasi), karena dapat mengakibatkan hasil yang gawat. Untuk informasi lebih rinci mengenai interaksi antara ARV dan obat lain, lihat Lembaran Informasi (LI) 910 dan LI 911.
Apakah Ada Obat Lain yang Butuh Perhatian Khusus?
Dengan beberapa obat, hanya sedikit kelebihan dapat mengakibatkan overdosis yang berbahaya, dan jika jumlah hanya sedikit kekurangan, obat mungkin tidak berhasil. Obat tersebut dikenal dengan ‘indeks terapeutik yang sempit’. Jika kita memakai obat jenis ini, interaksi apa pun dapat gawat atau bahkan mematikan.
Yang harus diperhatikan termasuk:
Beberapa obat yang dipakai untuk mengobati depresi
Beberapa antihistamin (antialergi)
Obat yang mengendalikan denyut jantung
Beberapa obat penawar rasa nyeri yang berasal dari opium
Kisaprid, yang meningkatkan pengeluaran air besar
Beberapa obat sedatif (penenang), termasuk triazolam
Obat pengencer darah
Metadon (lihat LI 670 dan buprenorfin (LI 671)
Beberapa obat untuk mengobati disfungsi ereksi (mis. Viagra)
Beberapa obat untuk mengobati TB, terutama rifampisin
Obat lain yang harus diperhatikan termasuk narkoba. Belum ada penelitian yang teliti terhadap interaksi dengan narkoba, tetapi ada laporan tentang overdosis dan kematian diakibatkan penggunaan narkoba sekaligus dengan ARV. Untuk informasi lebih lanjut, lihat LI 680.
Perempuan yang memakai pil KB sebaiknya bicara dengan dokter tentang interaksi obat. Beberapa ARV dapat menurunkan tingkat obat KB ini, dan menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Bagaiamana dengan Jamu?
Belum ada banyak penelitian tentang interaksi antara jamu dan obat-obatan. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa St. John’s Wort (hiperisin) dikontraindikasi dengan semua PI dan NNRTI. Bawang putih dapat menurunkan tingkat ARV dalam aliran darah. Suplemen bawang putih, atau mungkin jumlah bawang putih yang besar dalam makanan, dapat mengakibatkan masalah untuk seseorang yang memakai saquinavir sebagai satu-satunya PI dalam rejimennya.
Garis Bawah
Banyak ARV dapat berinteraksi dengan obat lain, narkoba, atau jamu, dan daftar interaksi semakin panjang – lihat LI 910 dan LI 911. Interaksi itu dapat mengakibatkan overdosis beberapa obat dan kelebihan dosis ini dapat gawat atau mematikan. Interaksi juga dapat mengakibatkan tingkat obat yang terlalu rendah dalam aliran darah. Kita dan dokter sebaiknya meninjau lembaran informasi yang ada di dalam kemasan semua obat. Minta informasi tersebut untuk setiap obat yang dipakai. Juga, menentukan bahwa dokter meninjau SEMUA obat, narkoba dan jamu yang kita pakai.
Sumber :
http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=407
den ger
Obat bius yang digunakan dalam praktik medis memiliki banyak jenis dan sediaan. Ada yang membuat bagian tubuh mati rasa hingga membuat tak sadar. Mengapa obat bius dibuat beraneka ragam ? Tak hanya berfungsi untuk membuat orang tak sadar saat dioperasi, pada tindakan medis lain pun obat bius amat diperlukan.
Misalnya saja untuk mencabut gigi, dimana obat bius digunakan untuk mematirasa area yang akan dilakukan pencabutan. Obat bius adalah sebuah tindakan yang diambil dokter untuk meredakan rasa nyeri. Baik yang bersifat lokal atau hanya mematikan rasa pada area tertentu, hingga yang menidurkan atau menghilangkan kesadaran seseorang.
Oleh karena kebutuhan untuk meredakan rasa nyeri ini sangat subyektif pada masing-masing orang, maka obat bius pun diciptakan dengan berbagai cara kerja dan penggunaannya.
Berdasarkan Sifat Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara awam obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum.
A. Anestesi Lokal
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, perawatan kecantikan seperti sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi geraham terakhir atau gigi berlubang, mengangkat mata ikan, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya, menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak.
Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri.
B. Anestesi Regional
Anestesi jenis ini biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai.
Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi lokal masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walau tak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
C. Anestesi Umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang. Misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lainnya.
Caranya, memasukkan obat-obatan bius baik secara inhalasi (pernafasan) maupun intravena (pembuluh darah vena) beberapa menit sebelum pasien dioperasi. Obat-obatan ini akan bekerja menghambat hantaran listrik ke otak sehingga sel otak tak bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh manapun, dan membuat pasien dalam kondisi tak sadar (loss of consciousness).
Cara kerjanya, selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.
Sesuai Cara Penggunaan
Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara penggunaan yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan saja, tetapi juga dihirup melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan
anestesi ini di antaranya:
A. Melalui Pernafasan
Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat dimasukkan melalui pernafasan atau secara inhalasi. Gas-gas ini mempengaruhi kerja susunan saraf pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru sehingga bersama-sama menciptakan kondisi tak sadar pada pasien.
Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar yang belum diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga, perlu dipastikan pasien tetap dalam kondisi tak sadar selama operasi dilakukan.
B. Iinjeksi Intravena
Sedangkan obat ketamine, thiopetal, opioids (fentanyl, sufentanil) dan propofol adalah obat-obatan yang biasanya dimasukkan ke aliran vena. Obat-obatan ini menimbulkan efek menghilangkan nyeri, mematikan rasa secara menyeluruh, dan membuat depresi pernafasan sehingga membuat pasien tak sadarkan diri. Masa bekerjanya cukup lama dan akan ditambahkan bila ternyata lamanya operasi perlu ditambah.
C. Injeksi Pada Spinal/ Epidural
Obat-obatan jenis iodocaine dan bupivacaine yang sifatnya lokal dapat diinjeksikan dalam ruang spinal (rongga tulang belakang) maupun epidural untuk menghasilkan efek mati rasa pada paruh tubuh tertentu. Misalnya, dari pusat ke bawah.
Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural, injeksi dapat dipertahankan dengan meninggalkan selang kecil untuk menambah obat anestesi jika diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedang pada spinal membutuhkan jarum lebih panjang dan hanya bisa dilakukan dalam sekali injeksi untuk sekitar 2 jam ke depan.
D. Injeksi Lokal
Iodocaine dan bupivacaine juga dapat di injeksi di bawah lapisan kulit untuk menghasilkan efek mati rasa di area lokal. Dengan cara kerja memblokade impuls saraf dan sensasi nyeri dari saraf tepi sehingga kulit akan terasa kebas dan mati rasa.
Risiko & Efek Samping Obat Bius
Menggunakan obat bius memang sudah merupakan kebutuhan untuk tindakan medis tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, anestesi juga memiliki risiko tersendiri. Bius lokal, efek samping biasanya merupakan reaksi alergi. Namun, pada anestesi regional dan umum, Roys menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
1. Cukup Sering
Dengan angka kejadian 1 : 100 pasien, prosedur anestesi dapat menyebabkan risiko efek samping berupa mual,
muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, penglihatan kabur, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, nyeri
kepala, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara.
2. Jarang
Pada angka kejadian 1 : 1000 pasien, anestesi dapat berisiko menyebabkan infeksi dada, beser atau sulit kencing, nyeri
otot, cedera pada gigi, bibir, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi buruk.
3. Sangat Jarang
Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 10.000/ 200.000 pasien, diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf, kelumpuhan, dan kematian.
Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan. Atau, pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung
Resistensi Bius
Ketika dilakukan anestesi, terkadang dapat terjadi seseorang tak mendapatkan efek bius seperti yang diharapkan. Atau, yang kerap disebut resisten terhadap obat bius. Beberapa kondisi yang bisa menyebabkan seseorang resisten terhadap obat bius di antaranya:
1. Pecandu alkohol
2. Pengguna obat psikotropika seperti morfin, ekstasi dan lainnya
3. Pengguna obat anelgesik
Pada orang-orang tadi telah terjadi peningkatan ambang rangsang terhadap obat bius yang disebabkan efek bahan yang dikonsumsi dan masih beredar dalam tubuhnya.
Agar Obat Bius Optimal & Aman
Untuk menghindari terjadinya efek samping dan resistensi terhadap obat bius, sebaiknya pasien benar-benar memastikan kondisi tubuhnya cukup baik untuk menerima anestesi.
1. Menghentikan penggunaan obat anelgetik, paling tidak 1-2 hari sebelum dilakukan prosedur anestesi.
2. Menghentikan konsumsi obat-obatan yang berefek pada saraf pusat seperti morfin, barbiturat, amfetamin dan lainnya, paling tidak 1-3 hari sebelum anestesi dilakukan.
3. Berhenti mengonsumsi alkohol paling tidak 2 minggu sebelum penggunaan anestesi,
4. Berhenti merokok setidaknya 2 minggu sebelum anestesi dilakukan. (nova/lia)
Sumber :
http://www.isfinational.or.id/artikel/59/743-seputar-obat-bius-lain-jenis-lain-kegunaannya.html
Misalnya saja untuk mencabut gigi, dimana obat bius digunakan untuk mematirasa area yang akan dilakukan pencabutan. Obat bius adalah sebuah tindakan yang diambil dokter untuk meredakan rasa nyeri. Baik yang bersifat lokal atau hanya mematikan rasa pada area tertentu, hingga yang menidurkan atau menghilangkan kesadaran seseorang.
Oleh karena kebutuhan untuk meredakan rasa nyeri ini sangat subyektif pada masing-masing orang, maka obat bius pun diciptakan dengan berbagai cara kerja dan penggunaannya.
Berdasarkan Sifat Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara awam obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum.
A. Anestesi Lokal
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, perawatan kecantikan seperti sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi geraham terakhir atau gigi berlubang, mengangkat mata ikan, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya, menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak.
Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri.
B. Anestesi Regional
Anestesi jenis ini biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai.
Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi lokal masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walau tak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
C. Anestesi Umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang. Misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lainnya.
Caranya, memasukkan obat-obatan bius baik secara inhalasi (pernafasan) maupun intravena (pembuluh darah vena) beberapa menit sebelum pasien dioperasi. Obat-obatan ini akan bekerja menghambat hantaran listrik ke otak sehingga sel otak tak bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh manapun, dan membuat pasien dalam kondisi tak sadar (loss of consciousness).
Cara kerjanya, selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.
Sesuai Cara Penggunaan
Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara penggunaan yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan saja, tetapi juga dihirup melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan
anestesi ini di antaranya:
A. Melalui Pernafasan
Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat dimasukkan melalui pernafasan atau secara inhalasi. Gas-gas ini mempengaruhi kerja susunan saraf pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru sehingga bersama-sama menciptakan kondisi tak sadar pada pasien.
Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar yang belum diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga, perlu dipastikan pasien tetap dalam kondisi tak sadar selama operasi dilakukan.
B. Iinjeksi Intravena
Sedangkan obat ketamine, thiopetal, opioids (fentanyl, sufentanil) dan propofol adalah obat-obatan yang biasanya dimasukkan ke aliran vena. Obat-obatan ini menimbulkan efek menghilangkan nyeri, mematikan rasa secara menyeluruh, dan membuat depresi pernafasan sehingga membuat pasien tak sadarkan diri. Masa bekerjanya cukup lama dan akan ditambahkan bila ternyata lamanya operasi perlu ditambah.
C. Injeksi Pada Spinal/ Epidural
Obat-obatan jenis iodocaine dan bupivacaine yang sifatnya lokal dapat diinjeksikan dalam ruang spinal (rongga tulang belakang) maupun epidural untuk menghasilkan efek mati rasa pada paruh tubuh tertentu. Misalnya, dari pusat ke bawah.
Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural, injeksi dapat dipertahankan dengan meninggalkan selang kecil untuk menambah obat anestesi jika diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedang pada spinal membutuhkan jarum lebih panjang dan hanya bisa dilakukan dalam sekali injeksi untuk sekitar 2 jam ke depan.
D. Injeksi Lokal
Iodocaine dan bupivacaine juga dapat di injeksi di bawah lapisan kulit untuk menghasilkan efek mati rasa di area lokal. Dengan cara kerja memblokade impuls saraf dan sensasi nyeri dari saraf tepi sehingga kulit akan terasa kebas dan mati rasa.
Risiko & Efek Samping Obat Bius
Menggunakan obat bius memang sudah merupakan kebutuhan untuk tindakan medis tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, anestesi juga memiliki risiko tersendiri. Bius lokal, efek samping biasanya merupakan reaksi alergi. Namun, pada anestesi regional dan umum, Roys menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
1. Cukup Sering
Dengan angka kejadian 1 : 100 pasien, prosedur anestesi dapat menyebabkan risiko efek samping berupa mual,
muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, penglihatan kabur, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, nyeri
kepala, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara.
2. Jarang
Pada angka kejadian 1 : 1000 pasien, anestesi dapat berisiko menyebabkan infeksi dada, beser atau sulit kencing, nyeri
otot, cedera pada gigi, bibir, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi buruk.
3. Sangat Jarang
Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 10.000/ 200.000 pasien, diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf, kelumpuhan, dan kematian.
Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan. Atau, pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung
Resistensi Bius
Ketika dilakukan anestesi, terkadang dapat terjadi seseorang tak mendapatkan efek bius seperti yang diharapkan. Atau, yang kerap disebut resisten terhadap obat bius. Beberapa kondisi yang bisa menyebabkan seseorang resisten terhadap obat bius di antaranya:
1. Pecandu alkohol
2. Pengguna obat psikotropika seperti morfin, ekstasi dan lainnya
3. Pengguna obat anelgesik
Pada orang-orang tadi telah terjadi peningkatan ambang rangsang terhadap obat bius yang disebabkan efek bahan yang dikonsumsi dan masih beredar dalam tubuhnya.
Agar Obat Bius Optimal & Aman
Untuk menghindari terjadinya efek samping dan resistensi terhadap obat bius, sebaiknya pasien benar-benar memastikan kondisi tubuhnya cukup baik untuk menerima anestesi.
1. Menghentikan penggunaan obat anelgetik, paling tidak 1-2 hari sebelum dilakukan prosedur anestesi.
2. Menghentikan konsumsi obat-obatan yang berefek pada saraf pusat seperti morfin, barbiturat, amfetamin dan lainnya, paling tidak 1-3 hari sebelum anestesi dilakukan.
3. Berhenti mengonsumsi alkohol paling tidak 2 minggu sebelum penggunaan anestesi,
4. Berhenti merokok setidaknya 2 minggu sebelum anestesi dilakukan. (nova/lia)
Sumber :
http://www.isfinational.or.id/artikel/59/743-seputar-obat-bius-lain-jenis-lain-kegunaannya.html
Langganan:
Postingan (Atom)