Infolinks In Text Ads

Interaksi Obat




Interaksi obat terjadi bila 2 atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu atau lebih obat berubah. Obat-obat yang besar kemungkinannya terlibat dalam interaksi obat adalah : obat yang rentang terapinya sempit, obat yang memerlukan pengendalian dosis yang teliti, dan obat yang menginduksi atau menghambat sistem enzim mikrosom hepatik sitokrom P450 monooksigenase.

Mekanisme interaksi obat:
1.Interaksi farmakokinetika
Dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi.
a.Absorbsi saluran pencernaan meliputi kecepatan dan jumlah. Dipengaruhi oleh formulasi farmasetik termasuk bentuk sediaan, pKa dan kelarutan obat dalam lemak disamping pH, flora bakteri, dan aliran darah dalam organ pencernaan (meliputi usus besar, usus halus, usus 12 jari dan lambung).
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi absorbsi obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinnggungan dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan melarut obat makin besar. Sifat fisika kimia obat, bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam lemak/air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi absorbsi obat. Faktor biologis saluran cerna meliputi variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung, dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorbsi.
Setelah diabsorbsi obat masuk ke cairan tubuh dan didistribusikan ke organ organ dan jaringan seperti otot, lemak, jantung dan hati. Sebelum mencapai reseptor, obat melalui bermacam macam sawar membran, pengikatan oleh protein plasma, penyimpanan dalam depo jaringan dan mengalami metabolisme.
Permukaan sel hidup dikelilingi oleh cairan sel yang bersifat polar. Molekul obat yang tidak terlarut dalam cairan tersebut tidak dapat diangkut secara efektif ke permukaan reseptor sehingga tidak dapat menimbulkan respon biologis. Oleh karena itu molekul obat memerlukan beberapa modifikasi kimia dan enzimatik agar dapat terlarut walaupun sedikit dalam cairan luar sel. Yang penting adalah harus ada molekul obat yang tetap utuh atau dalam bentuk tidak terdisosiasi pada waktu mencapai reseptor dan jumlahnya cukup untuk dapat menimbulkan respon biologis.

3 fase yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah:
1.Fase farmasetik, yang meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk dapat diabsorbsi ke tubuh.
2.Fase farmakokinetik, yang meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (ADME). Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran (target) atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respon biologis.
3.Fase farmakodinamik yaitu fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan sasaran. Fase ini berperan dalam timbulnya respon biologis obat.

Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses –proses sebagai berikut :
1.Obat disimpan dalam depo jaringan.
2.Obat terikat oleh protein plasma terutama albumin.
3.Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan menimbulkan respon biologis.
4.Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu :
-Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis ( bioaktivasi).
-Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif, kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
-Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik (biotoksifikasi).
5.Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.
Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang tetap utuh atau mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat akan berubah atau terikat pada biopolimer. Tempat dimana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat mencapai reseptor disebut sisi kehilangan. Distribusi obat pada reseptor dan sisi kehilangan tergantung dari sifat kimia fisika molekul obat, seperti kelarutan dalam lemak/air, derajat ionisasi, kekuatan ikatan obat reseptor, kekuatan ikatan obat-sisi kehilangan dan sifat dari reseptor atau sisi kehilangan. Contoh sisi kehilangan : protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim yang dapat menyebabkan perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif ke bentuk tidak aktif dan proses ekskresi obat, baik sebelum maupun sesudah proses metabolisme. Depo penyimpanan adalah sisi kehilangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan obat sebelum berinteraksi dengan reseptor. Ikatan obat-depo penyimpanan bersifat terpulihkan (reversibel), bila kadar obat dalam darah menurun maka obat akan dilepas kembali ke cairan darah. Contoh depo penyimpanan : jaringan lemak, hati, ginjal, dan otot.

b.Ikatan obat protein (pendesakan obat) meliputi obat bebas/ aktif dan obat terikat /tidak aktif.

c.Metabolisme hepatik meliputi induksi enzim (penurunan konsentrasi obat) dan inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat).

d.Klirens ginjal meliputi peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat) dan penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat)
Reseptor Obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup mengandung gugus fungsional atau atom atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat khas, yang dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional khas, menghasilkan respon biologis tertentu.

2.Interaksi Farmakodinamika meliputi sinergisme kerja obat, antagonisme kerja obat, efek reseptor tidak langsung, gangguan cairan dan elektrolit.
Pasien yang rentan terhadap interaksi obat :
a.Orang usia lanjut
b.Orang yang minum lebih dari 1 macam obat
c.Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d.Pasien dengan penyakit akut
e.Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
f.Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
g.Pasien yang dirawat oleh lebih dari 1 dokter

Kondisi klinis pasien adalah yang terpenting dalam mengantisipasi perkembangan interaksi obat yang serius. Pasien usia lanjut mempunyai resiko yang lebih tinggi karena beberapa sebab, pasien ini lebih berkemungkinan untuk memperoleh terapi berbagai macam obat, mereka seringkali memiliki gangguan fungsi ginjal dan hati, dan biasanya pemahaman mereka terhadap pengobatan buruk, mengakibatkan banyak masalah, termasuk kepatuhan dalam pengobatan.Banyak dari mereka yang mengalami gangguan degeneratif yang dapat mempengaruhi banyak sistem dan mengganggu mekanisme kompensasi homeostatik.
Kejadian interaksi obat meningkat secara eksponensial dengan jumlah obat yang diminum. Ginjal dan hati adalah organ utama yang berperan dalam eliminasi obat dari tubuh, maka gangguan fungsi ginjal dan hati akan meningkatkan resiko interaksi obat. Contoh obat-obat yang interaksinya bermakna klinis meliputi obat yang rentang terapinya sempit (anti epilepsi, digoksin, lithium, siklosporin, teofilin, warfarin), obat yang memerlukan pengaturan dosis teliti (obat anti diabet oral, antihipertensi), Penginduksi enzim (asap rokok, barbiturat contoh fenobarbital, fenitoin, griseofulvin, karbamazepine, rifampisin), penghambat enzim (amiodaron, diltiazem, eritromisina,fluoksetin,ketokonazol, metronidazol, natrium valproat, cimetidin, ciprofloksasin, verapamil).

Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat meliputi :
a.Hindari kombinasi obat yang berinteraksi dengan resiko obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus mempertimbangkan obat pengganti dengan pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.
b.Penyesuaian dosis, jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi.
c.Memantau pasien,jika hal ini dianggap relevan dan praktis. Pemantauan dapat meliputi hal – hal berikut ini :
-Pemantauan klinis untuk menemukan berbagai efek yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang dokter dan informasi ditulis pada catatan medik pasien.
-Pengukuran kadar obat dalam darah. Hal ini dapat diperlukan bila tersedia sarana pemantauan yang memadai dan bila ada pertimbangan interaksi potensial yang berbahaya.
-Pengukuran indikator interaksi, contoh pemantauan international normalized ratio (INR) untuk pasien yang memperoleh pengobatan dengan warfarin.
d.Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jiak kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan.

0 comments:

Posting Komentar