Infolinks In Text Ads

Biota akuatik dan peradaban manusia

Biota akuatik dan peradaban manusia

Ikan dan biota akuatik (air) umumnya merupakan bahan pangan bergizi tinggi yang telah dimanfaatkan umat manusia sejak manusia mulai berburu. Manusia yang hidup di sekitar sungai, danau, dan laut dapat menangkap dan memungut berbagai biota akuatik untuk dikonsumsi, baik dalam keadaan mentah maupun dimasak. Nenek moyang manusia yang hidup di sekitar danau, sungai, dan laut inilah yang kemudian melahirkan peradaban hingga saat ini.

Bukan suatu kebetulan bila peradaban-peradaban besar tumbuh di daerah-daerah tepian sungai dan laut, seperti Sungai Nil, Indus, Gangga, Eufrat, Tigris, Yangtse, Mekong, serta daerah pesisir pantai Yunani dan Italia. Dengan mengonsumsi biota akuatik, otak manusia berkembang sehingga manusia dapat melahirkan peradaban tulis, seni, ilmu dan teknologi pertanian dan maritim, serta agama.

Dahulu, manusia purba mempunyai otak yang beratnya hanya sekitar 500 gr. Michael Crawford dari The Institute of Brain Chemistry and Human Nutrition menyatakan bahwa kelambatan perkembangan otak nenek moyang manusia dahulu terjadi karena mereka hidup di daratan Eurasia —jauh dari laut sehingga hampir tidak pernah makan ikan (Rakhmat, 2005). Kira-kira 1 juta tahun yang lalu, nenek moyang manusia yang tinggal di Afrika Timur dekat danau-danau besar, tiba-tiba mengembangkan otaknya secara menakjubkan. Otak manusia yang mulai berkembang di Afrika Timur itu kini telah mencapai ukuran antara 1.300-1.400 gr.

Kecerdasan manusia tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetik (keturunan). Faktor genetik hanya menyumbang 20-30% kecerdasan seseorang, sisanya berasal dari asupan gizi, kesehatan, dan stimulus yang baik. Ketiga faktor ini berperan dalam menentukan kecerdasan seseorang. Tumbuh kembang otak seseorang tergantung dari usia. Berat otak bayi sekitar 350 gr, bayi usia 6 bulan sekitar 650 gr, anak usia 12 bulan sekitar 925 gr, anak usia 18 bulan sekitar 1.000 gr, dan orang dewasa antara 1.300-1.400 gr. Otak normal mengandung sekitar 1.000 miliar neuron (sel syaraf). Neuron dapat dipacu atau direkayasa melalui gizi dan stimulus lingkungan untuk memperbanyak synapsis (jaringan atau sambungan antarneuron). Semakin banyak synapsis maka semakin banyak pula neuron yang menyatu. Itu berarti bahwa semakin mampu otak menyerap, serta mengolah data dan informasi.

Dalam hal hubungan kualitas otak dan gizi inilah, peran protein hewani —termasuk biota akuatik— mengambil porsi dominan. Kandungan zat besi (Fe) pada pangan hewani terbukti berperan dalam peningkatan daya konsentrasi. Fe merupakan salah satu mineral yang berfungsi sebagai bahan dasar pembentukan hemoglobin, zat warna sel darah merah. Sel darah merah bertugas mengangkut nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh. Hemoglobin secara khusus adalah pengangkut oksigen untuk menyuplai kebutuhan metabolisme sel-sel tubuh, termasuk otak. Pangan hewani juga mengandung vitamin B12 yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah, tepatnya menentukan besar-kecilnya sel darah merah. Kekurangan vitamin B12 dapat mengakibatkan ukuran sel darah merah menjadi relatif kecil. Dua nutrisi tersebut berperan untuk menghindarkan seseorang dari anemia, yang dapat berdampak menurunkan pasokan oksigen dan nutrisi ke otak. Jika ini terjadi maka otak tidak dapat berfungsi optimal atau lemah otak.

Oleh karena itu, tingkat konsumsi pangan bergizi (seperti telur, daging, ikan, dan susu) pada suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat kualitas hidup. Rendahnya tingkat konsumsi pangan bergizi dapat menimbulkan gizi buruk dan kurang gizi. Jika IPM Indonesia rendah maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Demikian pula, tingkat konsumsi ikan atau biota akuatik yang tinggi pada suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas hidup bangsa tersebut, misalnya Jepang yang merupakan negara dengan tingkat kesehatan dan kecerdasan tertinggi di dunia. Jepang adalah pengkonsumsi ikan dan biota akuatik tertinggi kedua di dunia yang mencapai 140 kg/kapita/tahun, setelah Maladewa yang mencapai 153 kg/kapita/tahun.

Dugaan bahwa ikan dan biota akuatik berperan penting pada kesehatan dan kecerdasan manusia telah dibuktikan oleh para ahli. Dalam 25 tahun terakhir, banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan dan kecerdasan manusia. Kenyataan ini disebabkan karena seafood rata-rata mengandung 20% protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega-3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak dan mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke, dan darah tinggi.

Para ahli telah membuktikan bahwa asam lemak omega-3 berperan penting dalam proses tumbuh kembang sel-sel saraf —termasuk sel otak— sehingga dapat meningkatkan kecerdasan, terutama pada anak-anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang.

Kekurangan dalam mengonsumsi makanan yang mengandung omega-3 dapat mengakibatkan sejumlah gangguan mental berupa depresi, ingatan yang jelek, kecerdasan yang rendah, kelemahan belajar, disleksia, tidak dapat menaruh perhatian (attention deficit disorder), skizofrenia, pikun, penyakit alzheimer, penyakit saraf degeneratif, sklerosis ganda, alkoholisme, pandangan yang lemah, kurang konsentrasi, serta melakukan agresi, kekerasan, dan bunuh diri.

Biota akuatik, gizi, dan kesehatan
Ikan dan biota akuatik merupakan bahan pangan bergizi tinggi. Ikan dan biota akuatik mengandung protein, lemak, vitamin, karbohidrat, selenium, kalsium, dan magnesium. Rata-rata ikan dan biota akuatik mengandung protein 20% dan kandungan lemak omega-3 yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Sekitar 70% otak manusia terbentuk dari protein dan lemak, termasuk kolesterol. Oleh karena itu, otak membutuhkan protein dan lemak agar dapat tumbuh dan berfungsi optimal. Kolesterol diperlukan tubuh —terutama bagi anak dan remaja untuk pembentukan otak dan hormon, memperbaiki jaringan yang rusak, pertumbuhan, membentuk otot, dan sebagainya. Selain itu, asam lemak omega-3 pada ikan, khususnya eicosapentaenoat acid atau EPA (20:5n-3) dan dekosaheksaenoat acid atau DHA (22:6n-3) diidentifikasi mempunyai kegunaan yang sangat penting bagi kesehatan manusia.

EPA merupakan asam lemak tak jenuh yang mempunyai khasiat, antara lain:
- Memperlebar saluran darah.
- Mencegah pergeseran cairan darah atau menurunkan kekentalan cairan darah yang dapat merusak otak dan jantung.
- Menurunkan tekanan darah.
- Menurunkan lemak netral dalam cairan darah.
- Meningkatkan HDL (high density lipoprotein) yang merupakan kolesterol baik untuk menekan LDL (low density lipoprotein) yang merupakan kolesterol jahat sehingga dapat mencegah penyakit jantung.
- Mencegah kegemukan karena menekan bertambahnya sel-sel lemak.
- Mencegah timbulnya beberapa jenis alergi.

DHA juga merupakan salah satu asam lemak tak jenuh. DHA dan EPA merupakan vitamin F yang berkhasiat untuk mengaktifkan sel-sel otak. Khasiat lain dari DHA, antara lain:
- Menurunkan kepekatan kolesterol dalam cairan darah.
- Mencegah pergeseran cairan darah sehingga dapat mencegah pergeseran pembuluh darah.
- Mencegah kanker.
- Mencegah hitamin penyebab alergi.
- Memperlambat proses penuaan dan kepikunan.

Pada beberapa jenis ikan juga ditemukan bahan-bahan yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Selenium pada ikan terbang dapat mencegah penyakit kanker, jantung, rematik, lemah syahwat, dan penuaan. Taurine pada cumi-cumi dapat mencegah penyakit lever, ginjal, pengerasan pembuluh darah, dan penurunan daya lihat. Pada ikan mas terdapat vitamin B1 yang dapat mencegah radang mulut dan lidah, herpes, pembengkakan, dan stres. Pada ikan kakap ditemukan niacine, serta vitamin A, Bl, dan B2 yang dapat mencegah penyakit kulit, sakit perut, sakit kepala, radang mulut, bau mulut, dan pengerasan pembuluh darah. Pada ikan dan berbagai jenis biota laut juga mengandung yodium yang merupakan salah satu bahan yang sangat ampuh untuk mencegah penyakit gondok.

Penelitian terhadap ikan tuna (Thunnus) telah membuktikan bahwa ikan tuna mempunyai kandungan omega-3 lebih banyak dari ikan air tawar, yaitu mencapai 28 kali. Konsumsi ikan tuna 30 gr sehari dapat mereduksi risiko kematian akibat penyakit jantung hingga 50%. Ikan tuna juga kaya selenium. Dengan mengonsumsi 100 gr ikan tuna, cukup untuk memenuhi 52,9% kebutuhan selenium pada tubuh. Selenium mempunyai peran penting di dalam tubuh karena mengaktifkan enzim antioksidan glutathione peroxidase yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas penyebab berbagai jenis kanker.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat dilakukan untuk mengetahui apakah minyak ikan dapat menghindarkan manusia dari gangguan jantung (atherosclerosis) yang menyebabkan stroke atau serangan jantung? Dr. Bonnie Weiner dari Pusat Medis Universitas Massachusetts menyatakan bahwa penelitian tersebut menggunakan hewan uji babi sebanyak 18 ekor selama 18 bulan, dengan memberi makan babi berupa makanan diet yang kaya lemak (kolesterol). Separuh dari jumlah babi itu diberikan dua sendok makan minyak ikan (cod liver oil) setiap harinya. Hasilnya, babi yang diberikan minyak ikan mempunyai endapan lemak 4 kali lebih sedikit dibandingkan dengan babi lainnya.

Ikan hiu merupakan salah satu biota akuatik yang telah lama dikenal sebagai makanan kesehatan dan pengobatan. Di balik keseraman penampilannya, terdapat zat-zat yang sangat berkhasiat bagi kesehatan manusia. Sirip hiu telah lama dikenal dalam pengobatan Cina sebagai obat kuat dan awet muda. Organ hati ikan hiu kaya akan vitamin A dan D, serta squalene yang digunakan sebagai makanan sehat alami.

Rumput laut telah dimanfaatkan oleh penduduk pantai Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Penduduk mengumpulkan rumput laut untuk dijadikan bahan pangan dan obat-obatan. Sebagai bahan pangan, rumput laut umumnya dibuat untuk lalapan (dimakan mentah), urap (dengan bumbu kelapa parut), acar atau asinan (dengan bumbu cuka), sayur (dengan atau tanpa santan), tumis (dimasak dengan minyak goreng dan bumbu), serta dibuat agar-agar dan puding. Masyarakat pesisir juga biasa menggunakannya sebagai obat luar (antiseptik dan pemeliharaan kulit). Cara yang umum dilakukan adalah mere- bus rumput laut dan air rebusan inilah yang dipakai. Atau dengan menggerus rumput laut sampai menjadi bubuk, kemudian dipakai sebagai obat. Saat ini, pemanfaatan rumput laut telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Rumput laut tidak lagi sekedar dimakan atau digunakan untuk pengobatan langsung, tetapi olahan rumput dapat menjadi agar-agar, algin, karaginan (carrageenan), dan furselaran (furcellaran) yang merupakan bahan baku penting dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, dan lain-lain.

Beberapa tanaman pada hutan bakau atau ekosistem mangrove juga diketahui mengandung bahan pangan dan obat, misalnya Rhizophora stylosa, Terninalia catappa, Bruguiera cylindrica, dan Stenochlaena palustris yang merupakan bahan baku makanan, serta Sonneratia sp. yang digunakan sebagai obat.

Tumbuhan lamun juga telah dimanfaatkan penduduk di Kepulauan Seribu sebagai bahan makanan. Lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak dan pupuk. Pemanfaatan lamun sebagai bahan farmasi telah dikembangkan di Filipina.

Di AS, pengembangan industri farmasi dan kosmetik yang menggunakan bahan bioaktif dari pesisir dan laut telah berhasil dengan baik, misalnya pembuatan tulang dan gigi palsu dari karang. Selain itu, di Madagaskar juga telah berhasil mengekstrak zat bioaktif dari salah satu spesies biota terumbu karang untuk industri obat antikanker.

Biota akuatik lain yang telah dimanfaatkan untuk makanan kesehatan dan pengobatan adalah cumi-cumi, sotong, penyu, kerang/tiram, teripang, karang, sponge, kuda laut, dan berbagai spesies ikan.

Selain biota makro yang telah disebutkan sebelumnya, perairan Indonesia juga menyimpan biota mikro dalam jumlah besar, yang juga bermanfaat untuk manusia, baik sebagai bahan pangan, kosmetik, maupun bahan pengobatan. Beberapa spesies Cyanobacteria telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai contoh, Spirulina platensis dan Spirulina geitleri telah dimanfaatkan oleh bangsa Afrika dan Meksiko untuk bahan pangan yang kaya protein.

Alga mikro lainnya adalah Chlorella. Alga ini merupakan spesies yang pertama kali diisolasi dan dibudidayakan secara murni. Chlorella merupakan alga mikro yang penyebarannya cukup luas, yakni meliputi perairan tawar dan laut. Komposisi gizi dari Chlorella meliputi protein 50%, karbohidrat 20%, lemak 20%, dan sisanya berupa asam amino, vitamin, dan mineral. Vitamin yang terkandung dalam Chlorella (khususnya Chlorella pyrenoidosa) terdiri dari vitamin B12 (0,02-0,1 pg bk-’), B6 (23 pg bk-’), B1 (10-41 pg bk-’), biotin (0,14-2,5 pg bk-’), folates (6,4- 28,3 pg bk-’), riboflavin (27-80 pg bk-’), nicotinie acid (120-240 pg bk-’), dan pantothenate (3,2-20 pg bk-’). Alga mikro juga mengandung berbagai pigmen seperti klorofil, karotenoid, phycocyanin (pigmen biru), dan phycoerythrin (pigmen merah). Biopigmen tersebut bermanfaat untuk industri makanan, komestik, dan farmasi. Phycocyanin (PC) yang berasal dari Spirulina telah diproduksi secara komersial sebagai pigmen biru oleh Dai Nippon Ink. Co. Jepang dengan nama “Lina Blue”. Sementara Phycoerythrin (PE) yang terkandung di dalam sel Porphyridium (microred algae) kemungkinan besar memiliki potensi yang lebih baik karena jenis pigmen merah ini aman bagi kesehatan.

Beberapa jenis Cyanobacteria, seperti Stigonema sp. dan Scytonema sp.dapat menghasilkan Scytonenurn (biopigmen yang mempunyai aktivitas sebagai pelindung ultra violet), sedangkan Nostoc sp., Anabaeana sp., Synechococcus sp., dan Xenococcus sp.mengandung bioaktif yang dapat dijadikan bahan perangsang pertumbuhan atau growth stimulator (Linawati, 1998). Demikian juga spesies Dunaliella sauna memiliki potensi sebagai sumber S-caroten (5-10% biomassa) yang jauh lebih tinggi dibanding wortel (1.000 ppm/part per million), serta minyak sawit mentah dan CPO (500-1.000 ppm).

Hal yang sama berlaku pula pada Botrycoccus brunii. Spesies ini merupakan spesies alga mikro yang memiliki potensi sebagai sumber hidrokarbon rantai panjang (C22-C23) pengganti minyak bumi.

Biota akuatik adalah bahan pangan bergizi tinggi sehingga sangat penting untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia. Di samping itu, biota akuatik juga mengandung berbagai bahan aktif yang sangat berguna untuk kepentingan manusia. Selain dikonsumsi langsung, biota akuatik juga diolah menjadi makanan kesehatan atau suplemen, obat, kosmetik, bahan bakar, dan sebagainya. Di AS, obat yang diproduksi dari biota akuatik telah mencapai angka 40 miliar dolar/tahun. Tidak hanya itu, biota akuatik juga dapat digunakan sebagai terapi. Ikan hias digunakan untuk terapi stres, sedangkan ikan lumba-lumba untuk terapi anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Belakangan ini, ikan Garra rufa (dikenal sebagai dokter fish) digunakan untuk terapi kulit. Ikan yang berasal dari Turki ini dapat memakan sel-sel kulit mati pada tubuh. Bagian yang ingin diterapi harus direndam dalam air pada suhu 38 C dan ikan-ikan akan menggigit bagian tubuh yang direndam tersebut.

Budi daya biota akuatik berkhasiat obat
Kekayaan sumber daya hayati akuatik (pesisir, laut, dan air tawar) yang sangat melimpah merupakan sumber bahan baku untuk industri pangan, kosmetik, dan obat-obatan. Tentu saja, ketergantungan produksi biota akuatik pada alam tidak menguntungkan secara ekonomi dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain:

- Produksi alam bergantung pada musim sehingga kontinuitasnya tidak terjamin.

- Produksi alam tidak selalu memenuhi syarat, baik kuantitas maupun kualitas, misalnya ukurannya belum sesuai kebutuhan dan tidak seragam.

- Pengambilan atau penangkapan yang berlebihan dapat menyebabkan over fishing, bahkan kepunahan spesies (species extinction).

- Penangkapan yang destruktif (misalnya, dengan bahan peledak atau bahan kimia beracun) juga dapat menyebabkan over fishing, serta merusak habitat dan ekosistem akuatik.

Oleh karena itu, budi daya (kultur) adalah pilihan yang bijak untuk memproduksi biota akuatik yang digunakan untuk bahan pangan, kosmetik, dan obat-obatan. Budi daya menjamin produksi lebih kontinu dan lebih bersahabat dengan lingkungan. Masyarakat yang sadar lingkungan akan menolak cara destruktif tersebut. Untuk membangun industri yang berbasis bahan baku pada biota akuatik, mau tidak mau harus membangun pula industri akuakultur atau budi daya perairan.

Biota akuatik yang diproduksi melalui akuakultur juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut konsumen, rasa daging dari ikan kerapu yang diproduksi melalui kegiatan akuakultur kurang lezat dibandingkan dengan kerapu yang ditangkap di alam. Demikian pula ikan gabus atau gapo (Channa striata) yang berasal dari budi daya tidak lebih baik dari gabus yang ditangkap di alam karena gabus budi daya kandungan albuminnya rendah. Kandungan albumin gabus yang rendah hasil budi daya diduga terkait dengan jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagai ikan karnivora (pemakan hewan/daging), gabus yang hidup di alam akan mengonsumsi berbagai hewan, sedangkan gabus budi daya hanya mengonsumsi sejumlah makanan, terutama jenisnya yang terbatas. Kelemahan ini dapat diatasi dengan pemberian pakan yang mengandung albumin. Tentu saja, dibutuhkan penelitian untuk itu.