Yayasan sebagai Entitas Hukum Privat
Saat ini, ada banyak sekali yayasan yang berdiri di Indonesia dengan berbagai bidang yang digelutinya. Ditinjau dari cara pendirian atau pembentukannya, yayasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu yayasan yang didirikan oleh pnguasa atau pemerintah, termasuk BUMN serta BUMD, dan yayasan yang didirikan oleh individu atau swasta.
Yayasan yang didirikan oleh Pemerintah, sebelum keluarnya UU Yayasan, disahkan dengan Surat Keputusan dari Pejabat yang berwenang dan/atau akta notaris. Kekayaan awal yayasan seperti ini dapat diambilkan dari kekayaan negara yang “dipisahkan atau “dilepaskan penguasaannya” dari pemerintah dan dari kekayaan pribadi. Sebelumnya pernah diperdebatkan: Apakah pada tempatnya Penguasa atau Pemerintah mendirikan yayasan yang pada hakikatnya merupakan entitas hukum privat? Peraturan perundang-undangan yang melarang hal itu memang belum ada. Pertanyaannya lebih ditujukan pada urgensi pendirian yayasan oleh pemerintah atau BUMN dan BUMD tersebut. Yayasan tersebut akan berada dalam bingkai hukum privat dengan segala konsekuensi yuridisnya. Kedudukan kekayaan negara yang “dipisahkan” atau “dilepaskan penguasaannya” itu secara yuridis mirip dengan “hibah”, sehingga segala konsekuensi penggunaan, pengelolaan, dan pengawasan atas kekayaan tersebut akan lepas sama sekali dari pihak yang memberi atau yang menghibahkan.
Yayasan yang didirikan oleh swasra atau perorangan, menurut UU Yayasan, harus didirikan dengan akta notaris. Kekayaannya dipisahkan dari milik para pendiri atau pengurus yayasan yang bersangkutan. Akta notaris tersebut harus didaftarkan di Kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Dewasa ini, banyak yayasan didirikan dengan tujuan yang berbeda dan menyimpang dari tujuan semula, yaitu sebagai usaha yang menguntungkan seperti sebuah perusahaan yang melakukan lalu lintas dagang. Unsur-unsur menjalankan perusahaan, seperti membuat dokumen perusahaan, mempunyai izin usaha, dikenai pajak, menggaji pengurus, memperhitungkan atau menghitung untung-rugi lalu mencatatnya dalam pembukuan adalah ciri-ciri suatu kegiatan yang berbentuk hukum perusahaan. Tanda-randa yayasan mulai menyimpang dari tujuan semula, yang secara nyata, dituangkan dalam anggaran dasar suatu yayasan.
Dalam anggaran dasar diatur beberapa hal seperti keanggotaan yayasan yang abadi, di mana pendiri mempunyai kekuasaan mutlak dan abadi bahkan kedudukannya dapat diwariskan. Yayasan tersebut bergerak dalam bidang pendidikan. Pendiri berasumsi bahwa keuntungan yang diperoleh suatu saat akan tetap dikendalikan. Oleh karena itu, untuk mengamankan kedudukannya, di dalam anggaran dasar, kedudukan pendiri diatur sebagai abadi, dapat diwariskan, dan mernpunyai hak veto.
Dengan keluarnya UU Yayasan, eksistensi dan landasan yuridis Yayasan sebagai entitas hukum privat tidak perlu dipermasalahkan lagi atau tidak perlu diragukan. Yayasan pada hakikatnya adalah kekayaan yang dipisahkan dan diberi status badan hukum. Sebagai subjek hukum, organ yayasan difungsikan dengan sebutan Pembina; Pengawas, dan Pengurus. Analog dengan hukum PT. kedudukan Dewan Pembina itu sama dengan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Pengawas sama dengan Komisaris, dan Pengurus sama dengan Direksi.
Dengan demikian, Yayasan pada hakikatnya adalah:
a. Harta kekayaan yang dipisahkan
b. Harta kekayaan tersebut diberi status badan hukum,
c. Keberadaannya untuk tujuan tertentu di bidang sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.
Secara teoretis, Yayasan dapat didirikan oleh satu orang, dua orang. atau lebih Yayasan tidak mempunyai anggota (semacam pemegang saham dalam dan eksistensinya hanya diperuntukkan guna mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, kemannsiaan, dan keagamaan. Oleh karena itu, semua kegiatan yayasan harus diabdikan ke pncapaian tujuan tersebut. UU Yayasan menegaskan hal ini dengan melarang pembagian hasil usaha kepada organ Yayasan, dengan ancaman pidana.
Praktek peradilan selama ini terfokus pada syarat pemisahan harta kekayaan dan akta notaris sebagai syarat pendirian Yayasan. Syarat pemisahan harta kekayaan sangat banyak dijadikan alasan menurut para pengurus yayasan, karena pada umumnya hasil usaha Yayasan telah dijadikan objek perebutan kedudukan dalam kepengurusan Yayasan. Anak keturunan para pendiri sering menjadi pihak yang berperkara, karena kelemahan organisasi yayasan nampak dengan alasan subjektif. Isi akte pendirian sering dijadikan alasan untuk mengalihkan harta kekayaan yayasan, seolah-olah akta pendirian itu dapat diubah setiap saat ssuai dengan keinginan pengurus yayasan (Pnggabean, 2001, Pramono, 2001).
Praktek-praktek seperti diuraikan sebelumnya mulai diluruskan dengan UU Yayasan. Yayasan akan ditempatkan pada kedudukan yuridis sebagai badan yang berfungsi sosial, idiil, dan keagamaan. Yayasan boleh menjalankan kegiatan usaha, boleh mempunyai sisa hasil usaha, tetapi tidak boleh, profit oriented seperti halnya PT. Sisa hasil usaha boleh ada, tetapi tidak boleh dibagi kepada organ yayasan. Yayasan mendirikan badan usaha, misalnya PT, dengan modal usaha maksimal 25% dan seluruh aset.
Yayasan harus membuat laporan keuangan, di mana laporan keuangan itu harus diperiksa oleh akuntan publik untuk yayasan yang memiliki asset senilai Rp20 miliar lebih dan yang mendapat bantuan senilai Rp500 juta ke atas. Laporan Keuangan tersebut harus diumumkan dan tembusannya harus disampaikan kepada Menteri.
0 comments:
Posting Komentar