Penyakit asma pada kehamilan dan obat-obat yang umumnya digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma. Keadaan ini begitu sering dijumpai pada orang-orang muda sehingga tidak semua wanita yang menderitanya akan mendapakan perawatan data seorang spesialis dalam bidang kedokteran respiratorius. Hanya sedikit informasi yang tersedia tentang pemakaian obat-obat terbaru, yaitu antagonis reseptor leukotrien, pada kehamilan.
Penyakit asma
Penyakit asma dapat mengenai hingga 10 persen dart populasi penduduk di negara industri, yang meliputi 5 persen ibu hamil (Serafin, 1996). Asma merupakan penyakit inflamasi yang rnenyerang jalan napas yang kecil. Keadaan ini tidak selalu reversibel dan dapat berakibat fatal (McFadden, 1991). Bronkokonstriksi menimbulkan dispnea (sesak napas) pada saat ekspirasi dan (kadang-kadang) mengi serta batuk. Penyakit asma ditandai oleh inflamasi, edema, infiltrasi eosinofil dan remodeling bronkiolus. Mukus dihasilkan dengan jumlah yang berlebihan dan dapat membentuk surnbatan yang akan menimbulkan obstruksi jalan napas. Dinding bronkiolus akan terlepas sehingga turut menyumbat jalan napas. Semua perubahan ini akan permanen pada penyakit asma yang sudah berjalan lama. Penyempitan jalan napas akan bertambah parah pada malam harinya dan keadaan ini mengikuti irama sirkadian sekresi hormon (Holgate, 1997).
Penyakit asma pada ibu dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya pneumonia, hipertensi, partus prematur, perawatan dalam ruang intensif neonatus, malformasi kongenital clan berat badan lahir rendah, kendati risiko tersebut cukup rendah serta berkaitan dengan kontrol penyakitnya (Kramer et al, 1995; Nelson-Piercy & Moore-Gillon, 1995; Schatz, 1999; Munn et al, 1999).
Penatalaksanaan asma
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mengendalikan gejalanya dan menghindari komplikasi pada siang maupun malam harinya bagi wanita yang hamil maupun yang tidak hamil. Tujuan ini dicapai dengan:
a. menghindari faktor-faktor pemicu (yang meliputi pemakaian obat-obatan) sedapat mungkin
b. melakukan pemantauan dan menyimpan catatan
c. melaksanakan intervensi farmakoterapi.
Risiko yang ditimbulkan oleh penyakit asma yang tidak terkontrol dengan baik jauh lebih besar daripada risiko terjadinya efek teratogenik pada terapi standar.
Preparat agonis adrenoreseptor beta2 (mis. salbutamol)
Seperti adrenalin/epinefrin, obat-obat ini bekerja dengan menstimulasi reseptor beta, yang terdapat dalam hati, otot polos dan kelenjar pada banyak organ, termasuk uterus, paru-paru serta usus. Penggunaan preparat aerosol salbutamol atau terbutalin merupakan terapi inisial pilihan dalam penanganan asma pada kehamilan asalkan gejalanya dapat dikontrol dengan inhalasi kurang dari sekali per hari. Bentuk oral obat-obat ini sangat jarang digunakan pada kehamilan. Parmakologis preparat agonis adrenoreseptor beta2 dibicarakan dalam bab tentang obat-obat tokolitik (ritodrin) dan dirangkumkan dalam Apendiks 1.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa preparat inhalasi agonis adrenoreseptor beta, berbahaya bagi janin atau neonatus yang disusui ibunya. Sebagian abnormalitas janin yang ditemukan dalam penelitian binatang terjadi karena pemberian obat-obat ini dengan dosis yang sangat tinggi. Terapi oral atau intravena dapat menimbulkan takikardia fetal atau neonatal, hipoglikemia dan tremor pada neonatus (Serafin, 1996), namun semua efek samping ini lebih cenderung terjadi pada pemakaian dengan dosis yang lebih tinggi untuk tujuan tokolisis.
Penggunaan preparat agonis adrenoreseptor beta2
a. Tindakan penyelamatan pada serangan asma;
b. Terapi profilaksis;
c. Pencegahan gejala asma pada pasien yang juga mendapatkan terapi profilaksis anti-inflarnasi (biasanya salmeterol);
d. Penyakit jalan napas yang kronis (mis. kistik fibrosis): mengurangi edema paru;
e. Tokolisis.
Penggunaan inhalasi salbutamol atau terbutalin untuk mengatasi gejala asma selama persalinan tidak akan memperpanjang proses persalinan atau pun menunda awitan persalinan; hal ini mungkin terjadi karena absorpsi sistemik yang rendah (Nelson-Piercy & Moore-Gillon, 1995).
Preparat inhalasi salbutamol atau terbutalin mulai bekerja dalam waktu beberapa menit dan lama kerjanya berlangsung tiga hingga lima jam. Preparat long-acting misalnya salmeterol dan fenoterol akan bekerja selama 12 jam tetapi bukan obat yang efektif untuk terapi ‘penyelamatan.’ Toleransi terhadap preparat agonis adrenoreseptor beta, dapat terbentuk pada pajanan yang berkali-kali dengan preparat ini, dan penggunaan preparat agonis beta yang teratur bisa memperburuk pengontrolan penyakitnya (Hoffman & Lefkowitz, 1996). Pemberian kortikosteroid dapat membalikkan toleransi dan memulihkan efektivitas agonis adrenoreseptor beta, (Lipworth, 1997).
Metilsantin
Penggunaan teofilin tidak direkomendasikan selama kehamilan. Kadang-kadang obat ini digunakan untuk menstimulasi gerakan napas pada neonatus.
Preparat anti-inflamasi
Inflamasi menyebabkan penyempitan jalan napas pada pasien asma dan penyempitan ini bisa terjadi pada saat serangan asma maupun dalam masa antar-serangan/eksaserbasi. Banyak zat mediator inflamasi (seperti histamin) turut terlibat dalam proses inflamasi sehingga terapi yang efektif lebih ditujukan kepada proses inflamasinya ketimbang kepada satu zat mediator saja. Preparat anti-inflamasi diberikan untuk mencegah serangan asma dan bukan untuk mengobati serangan tersebut. Kromoglikat kini sudah banyak digunakan pada kehamilan tanpa menimbulkan efek yang merugikan; sementara itu, pengalaman dalam penggunaan nedokromil masih belum banyak (Nelson-Piercy & Moore-Gillon, 1995).
Gangguan metabolisme
Kortikosteroid bekerja meningkatkan pemecahan jaringan dan melaksanakan redishibusi simpanan karbohidrat, lemak serta protein. Batang tubuh menjadi gemuk karena timbunan lemek, sementara ekstremitas menjadi kurus. Lemak akan dilepas ke dalam sirkulasi darah dan kadar lipid dalam plasma depat meninggi; emboli lemak merupakan komplikasi yang jarang dijumpai.
Katabolisme (pemecahan) protein akan menurunkan kandungan kolagen dalam semua jaringan tubuh, termasuk kulit dan tulang. Penggunaan kortikosteroid untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan osteoporosis, pelisutan otot dan defisiensi vitamin-mineral (khususnya B, C, D, K dan folat). Kortikosteroid inhalasi berkaitan dengan osteoporosis (Wong et al, 2000). Terapi yang berkepanjangan dengan preparat steroid oral pernah disertai dengan berat badan lahir rendah (retardasi pertumbuhan intrauteri) serta penurunan ukuran lingkar kepala pada manusia; palatoskizis serta gangguan tumbuh-kembang pada tikus (Serefin, 1996; CSM, 1998; Steer & Flint, 1999); dan peningkatan risiko preinaturitas (Laskin et a1,1997).
Penipisan dinding usus depat menimbulkan ulkus peptikum atau perdarahan lambung, khususnya jika pasien juga menggunakan aspirin, NSAID atau alkohol. Berbagai masalah pernah terjadi pada neonatus.
Masalah dermatologi seperti akne, perspirasi, penipisan kulit, eritema fasialis, petekie, memar atau hirsutisme dapat disebabkan oleh pemberian preparat steroid sistemik untuk jangka waktu yang lama (Govoni & Hayes,1990). Pada penghentian pemakaian steroid dapat terjadi rebound keadaan dermatologi tersebut; fenomena rebound int merupakan bahaya yang khususnya terjadi pada psoriasis.
Kortikosteroid menyebabkan retensi ion-ion natrium dan kehilangan ion- ion kalium. Perubahan TD dan keseimbangan cairan yang menyertainya dianggap memiliki kaitan dengan tokolisis.
Supresi adrenal
Terapi steroid sisternik yang dilakukan selama dua minggu (termasuk pemberian preparat steroid yang berkali-kali bagi maturasi paru-paru janin) sudah cukup untuk menimbulkan disrupsi poros hipofise/adrenal. Sesudah pemberian steroid selama dua minggu, penghentian pemberian yang mendadak dapat menyebabkan gejala dan tanda insufisiensi adrenal, yaitu: kelemahan, depresi, febris, nyeri otot serta sendi, pilek, mata merah, nodul yang sakit atau gatal pada kulit, hipoglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit, anoreksia dan penurunan berat badan. Pada kasus-kasus yang berat, TD dapat turun dengan cepat dan terjadi keadaan yang fatal.
0 comments:
Posting Komentar