Infolinks In Text Ads

Jenis komponen Konsep diri

Konsep diri sendiri, terbagi menjadi beberapa komponen, yaitu :

1)      Citra tubuh (body image)

Citra tubuh adalah sikap, persepsi, keyakinan dan pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya, terdiri dari ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna, obyek yang kontak secara terus menerus (anting, make up, lensa kontak, pakaian, kursi roda) baik masa lalu atau masa sekarang. Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar (Stuart dan Sundeen, 1991). Sikap ini mencakup persepsi dan perasan tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu.

Menurut Potter dan Perry (1997) citra tubuh adalah persepsi seseorang tentang tubuhnya , baik secara internal maupun eksternal. Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan seseorang tentang sifat-sifat fisik dan kemampuan yang dimiliki dan oleh persepsi orang lain terhadap dirinya.

Citra tubuh dipengaruhi juga oleh perkembangan kognitif dan pertumbuhan fisik (Potter dan Perry, 1997). Ukuran, bentuk, massa, struktur, fungsi dan arti penting tubuh beserta bagian-bagiannya bersifat dinamis dan sangat mungkin untuk berubah.  Citra tubuh mungkin berubah seiring perubahan yang terjadi pada anatomi tubuh dan kepribadian seseorang (Rawlins et al, 1993). Perkembangan dan perubahan normal yang terjadi seiring usia akan mempengaruhi gambaran diri seseorang. Citra tubuh saat usia sekolah akan berbeda dengan citra tubuh saat usia tua.

Selain itu, budaya, sikap masyarakat dan nilai atau norma dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap seseorang (Potter dan Perry, 1997). Hal ini meliputi nilai-nilai kecantikan, kepercayaan ataupun kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun.

Citra tubuh berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistis terhadap diri, menerima dan menyukai bagian tubuh akan mengurangi rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap realisasi yang akan memacu sukses didalam kehidupan individu dapat mengubah citra tubuh secara dinamis (Keliat, 1992).

2)      Ideal diri (self-ideal)

Ideal diri adalah persepsi seseorang tentang bagaimana dia harus berperilaku sesuai dengan suatu standar tertentu (Stuart dan Laraia, 2005). Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkannya atau sejumlah aspirasi, tujuan atau nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial, dimana seseorang berusaha untuk mewujudkannya.

Pembentukan ideal diri dimulai sejak masa kanak-kanak dan sangat dipengaruhi oleh orang-orang disekitarnya yang memberikan keuntungan dan harapan-harapan tertentu. Pada masa remaja, ideal diri mulai terbentuk melalui proses identifikasi dari orang tua, guru dan teman. Pada usia lanjut, dibutuhkan beberapa penyesuaian, tergantung pada kekuatan fisik dan perubahan peran serta tanggunga jawab.

Banyak faktor yang mempengaruhi ideal diri seseorang, masih menurut Stuart dan Laraia (2005), yang mempengaruhi ideal diri seseorang diantaranya adalah

a)            Seseorang cenderung menetapkan ideal diri sesuai dalam batas kemampuannya. Seseorang tidak akan mungkin menetapkan suatu ideal atau tujuan jika sekiranya dirinya tidak mempu mengupayakan diri untuk mencapai tujuan tersebut atau berada diluar batas kemampuannya.

b)            Ideal diri juga dipengaruhi oleh faktor budaya, dimana seseorang akan membandingkan standar dirinya dengan teman sebayanya.

c)            Ambisi dan keingunan untuk lebih unggul dan sukses, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk menghindari kegagalan dan perasan cemas serta rendah diri.

Individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri, sehingga ia akan menyerupai apa yang diinginkan. Ideal diri hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai (Keliat, 1992).

3)      Harga diri (self-esteem)

Harga diri adalah perasaan tentang nilai, harga atau manfaat dari diri sendiri yang berasal dari kepercayaan positif atau negatif seorang individu tentang kemampuannya dan menjadi berharga (Fortinash et al, 1999). Menurut Stuart dan Laraia (2005), harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang ingin dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.

Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri tinggi. Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah (Keliat, 1992). Seseorang dengan harga diri tinggi dapat menerima orang lain, berekspresi tanpa cemas/takut dan berfungsi efektif di lingkungan sosial.

Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicinta dan menerima penghargaan dari orang lain. Harga diri akan rendah jika kehilangan cinta dan seseorang kehilangan penghargaan dari orang lain (Stuart dan Laraia, 2005).

Harga diri yang rendah dapat berupa : mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung, pesimis, gangguan berhubungan (isolasi/menarik diri) dan merusak diri (Kelliat, 1992).

Keluarga dan masyarakat merupakan seperangkat standar yang biasa digunakan oleh seseorang yang akan mengevaluasi dirinya sendiri (Potter dan Perry, 1997). Keluarga sebagai sistem pendukung utama untuk membantu seseorang meningkatkan harga dirinya. Menurut Braid, dkk seperti yang dikutip Keliat (1992), keluarga dan sistem pendukung sosial dapat membantu meningkatkan harga diri seseorang dengan cara :

a)            Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.

b)            Menegaskan pentingnya klien.

c)            Menolong membuka perasaan negatif.

d)            Memberi umpan balik perilaku.

e)            Memberi rasa percaya dan keyakinan.

f)              Memberi informasi yang dibutuhkan.

g)            Berperan sebagai pembela.

h)            Memberi dukungan yang bervariasi : uang, bantuan fisik, material dan tanggunga jawab.

i)              Menghargai penilaian personal yang cocok terhadap kejadian.

4)      Penampilan peran (role performance)

Penampilan peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial yang berbeda (Stuart dan Laraia, 2005). Perilaku tersebut diharapkan dapat diterima oleh keluarga, masyarakat dan budaya.

Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak punya pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih dan dipilih oleh individu. Setiap orang mempunyai peran lebih dari satu. Untuk dapat berfungsi efektif sesuai dengan perannya, seseorang harus tahu perilaku dan nilai-nilai yang diharapkan, harus berkeinginan untuk menyesuaikan diri dan harus mampu mencukupi peran yang dikehendaki (Potter dan Perry, 1997).

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menyesuaikan diri dengan peran yang diterimanya adalah pengetahuan tentang peran yang diharapkan, respon yang konsisten dari orang lain terhadap peran, kecocokan dan kelengkapan berbagai peran, kesesuaian antara norma budaya dan harapan terhadap perilaku peran dan pemisahan situasi yang akan membuat perilaku peran yang bertentangan (Stuart dan Laraia, 2005).

Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stressor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan, posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat, 1992).

5)      Identitas diri (self-identity)

Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart dan Sundeen, 1991). Identitas diri adalah komponen dari konsep diri yang memungkinkan individu untuk memelihara pendirian yang konsisten dan karenanya memungkinkan seseorang untuk menempati posisi yang stabil di lingkungannya (Rawlins et al, 1993).

Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga, kemampuan dan penguasaan diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya (Keliat, 1992). Salah satu dasar persepsi seseorang terhadap kecukupan peran yang diterimanya adalah ego yang menyertai peran, berkembang sesuai dengan harga diri. Harga diri yang tinggi adalah hasil dari pemenuhan kebutuhan peran dan sejalan dengan ideal diri seseorang (Stuart dan Laraia, 2005).

0 comments:

Posting Komentar