Infolinks In Text Ads

Asuhan Keperawatan CVA (Stroke)

A. Pengertian CVA (Stroke)

CVA atau stroke merupakan salah satu manifestasi neurologi yang umum yang timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak (Depkes, 1995).
Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu gangguan neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologik pada pembuluh darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).

B. Etiologi CVA (Stroke)

Penyebab utama dari stroke diurutkan dari yag paling penting adalah arterosklerosis (trombosis) embolisme, hipertensi yang menimbulkan pendarahan srebral dan ruptur aneurisme sekular.
Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak di dalam darah, DM atau penyakit vasculer perifer (Price, 1995).
Menurut etiologinya stroke dapat dibagi menjadi :
  1. Stroke trombotik
    Terjadi akibat oklusi aliran darah biasanya karena arterosklerosis berat.
  2. Stroke embolik
    Berkembang sebagai akibat adanya oklusi oleh suatu embolus yang terbentuk di luar otak. Sumber embolus yang menyebabkan penyakit ini adalah termasuk jantung sebelah infark miokardium atau fibrasi atrium, arteri karotis, komunis atau aorta.
  3. Stroke hemoragik
    Terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskemik dari hipoksia di daerah hilir, penyebab hemoragik antara lain ialah hipertensi, pecahnya aneurisma, malforasi arterio venas / MAV (Corwin, 2001).
Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke antara lain :
  1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
  2. Penyakit cardiovaskuler (embolisme serebral, mungkin berasal dari jantung).
  3. Kadar hematokrit normal tinggi (berhubungan dengan infark, serebral)
  4. Diabetes
  5. Kontrasepsi oral peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35 tahun.

C. Manifestasi Klinis CVA (Stroke)

Manifestasi klinis CVA atau stroke adalah kehilangan motorik disfungsi motorik yang paling umum adalah hemiplegi karena lesi pada otak yang berlawanan, hemparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Pada awal stroke biasanya paralisis menurunnya reflek tendon dalam, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kerusakan kognitif dan efek psikologis, disfungsi kandung kemih (Smeltzer, 2002 : 213).

D. Pathofisiologi CVA (Stroke)

Menurut Hudak dan Gallo aliran darah di setiap otak terhambat karena trombus atau embolus, maka terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otot, kekurangan oksigen pada awalnya mungkin akibat iskemia imun (karena henti jantung atau hipotensi) hipoxia karena proses kesukaran bernafas suatu sumbatan pada arteri koroner dapat mengakibatkan suatu area infark (kematian jaringan).
Berdasarkan Price SA dan Wilson Lorraine M (perdarahan intraksional) biasanya disebabkan oleh ruptura arteri cerebri ekstravasasi darah terjadi di daerah otak atau subarachnoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar pendarahan, spasme ini dapat menyebaar ke seluruh hemisfer otak, bekuan darah yang semua lunak akhirnya akan larut dan mengecil, otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami nekrosis.

E. Pemeriksaan Penunjang CVA (Stroke)

  1. Angiografi cerebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri adanya titik oklusi atau ruptur.
  2. CT Scan : memperlihatkan adanya oedem
  3. MRI : mewujudkan daerah yang mengalami infark
  4. Penilaian kekuatan otot
  5. EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak.

F. Penatalaksanaan CVA (Stroke)

Menurut Listiono D (1998 : 113) penderita yang mengalami stroke dengan infark yang luas melibatkan sebagian besar hemisfer dan disertai adanya hemiplagia kontra lateral hemianopsia, selama stadium akut memerlukan penanganan medis dan perawatan yang didasari beberapa prinsip.
Secara praktis penanganan terhadap ischemia serebri adalah :
  1. Penanganan suportif imun
    1. Pemeliharaan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat.
    2. Pemeliharaan volume dan tekanan darah yang kuat.
    3. Koreksi kelainan gangguan antara lain payah jantung atau aritmia.
  2. Meningkatkan darah cerebral
    1. Elevasi tekanan darah
    2. Intervensi bedah
    3. Ekspansi volume intra vaskuler
    4. Anti koagulan
    5. Pengontrolan tekanan intrakranial
    6. Obat anti edema serebri steroid
    7. Proteksi cerebral (barbitura)
Sedangkan menurut Lumban Tobing (2002 : 2) macam-macam obat yang digunakan :
  1. Obat anti agregrasi trombosit (aspirasi)
  2. Obat anti koagulasi : heparin
  3. Obat trombolik (obat yang dapat menghancurkan trombus)
  4. Obat untuk edema otak (larutan manitol 20%, obat dexametason)
Tindakan keperawatan
  1. Bantu agar jalan nafas tetap terbuka (membersihkan mulut dari ludah dan lendir agar jalan nafas tetap lancar).
  2. Pantau balance cairan.
  3. Bila penderita tidak mampu menggunakan anggota gerak, gerakkan tiap anggota gerak secara pasif seluas geraknya.
  4. Berikan pengaman pada tempat tidur untuk mencegah pasien jatuh.

G. Pathway CVA (Stroke)












H. Fokus Intervensi CVA (Stroke)

  1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
    1. Intervensi :
      1. Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya atau standar.
      2. Pantau tanda-tanda vital.
      3. Catat perubahan data penglihatan seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang atau ke dalam persepsi.
      4. Kaji fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara.
      5. Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral).
      6. Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung atau aktivitas pasien sesuai indikasi.
      7. Cegah terjadinya mengejan saat terjadinya defekasi dan pernafasan yang memaksa (batuk terus menerus).
      8. Kolaborasi dalam pembarian oksigen dan obat sesuai indikasi (Doenges, 2000).
  2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi neurologis.
    1. Intervensi :
      1. Kaji kemampuan fungsional dan beratnya kelainan.
      2. Pertahankan kesejajaran tubuh (gunakan papan tempat tidur, matras udara atau papan baku sesuai indikasi.
      3. Balikkan dan ubah posisi tiap 2 jam.
      4. Tinggikan ekstremitas yang sakit dengan bantal.
      5. Lakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif untuk semua ekstremitas setiap 2 jam sampai 4 jam.
      6. Berikan dorongan tangan, jari-jari dan latihan kaki.
      7. Bantu pasien dengan menggunakan alat penyokong sesuai indikasi.
      8. Berikan dorongan kepada pasien untuk melakukan aktivitas kebutuhan sehari-hari.
      9. Mulai ambulasi progresif sesuai pesanan bantu untuk duduk dalam posisi seimbang mulai dari prosedur pindah dari tempat tidur ke kursi untuk mencapai keseimbangan.
      10. Konsulkan dengan dokter dan bagian terapi (Tucker, 1998).
  3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek kerusakan pada hemisfer bahasa atau wicara (kiri atau kanan)
    1. Intervensi :
      1. Bedakan antara gangguan bahasa dan gangguan wicara.
      2. Kolaborasikan dengan praktis bicara untuk mengevaluasi pasien dan merancang rencana.
      3. Ciptakan suatu atmosfir penerimaan dan privasi.
      4. Buat semua upaya untuk memahami komunikasi pasien, mendengar dengan penuh perhatian, ulangi pesan pasien kembali pada pasien untuk memastikan pengertian, abaikan ketidaktepatan penggunaan kata, jangan memperbaiki kesalahan, jangan pura-pura mengerti bila tidak mengerti, minta pasien untuk mengulang.
      5. Ajarkan pasien tehnik untuk memperbaiki wicara, instruksikan bicara lambat dan dalam kalimat pendek pada awalnya, tanyakan pertanyaan yang dapat dijawabnya ya atau tidak.
      6. Gunakan strategi untuk memperbaiki pemahaman pasien, dapatkan pengetahuan pasien sebelum bicara padanya, panggil dengan menyebutkan nama pasien, lakukan pola bicara yang konsisten, gunakan sentuhan dan perilaku untuk berkomunikasi dengan tenang (Carpenito, 1999).
  4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik dan gangguan proses kognitif.
    1. Intervensi :
      1. Kaji derajat ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas perawatan diri (mandi, makan, toile training).
      2. Lakukan perawatan kulit selama 4-5 jam, gunakan loiton yang mengandung minyak, inspeksi bagian di atas tulang yang menonjol setiap hari untuk mengetahui adanya kerusakan.
      3. Berikan hygiene fisik total, sesuai indikasi, sisi rambut setiap hari, kerams setiap minggu sesuai indikasi.
      4. Lakukan oral hygiene setiap 4-8 jam, sikat gigi, bersihkan membran mukosa dengan pembilas mulut, jaga agar kuku tetap terpotong rapi dan bersih.
      5. Kaji dan pantau status nutrisi.
      6. Perbanyak masukan cairan sampai 2000 ml/hari kecuali terhadap kontra indikasi.
      7. Pastikan eliminasi yang teratur.
      8. Berikan pelunak feses enema sesuai pesanan (Tucker, 1998).
  5. Gangguan harga diri berhubungan dengan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
    1. Intervensi:
      1. Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuan.
      2. Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi perubahan pada pasien.
      3. Anjurkan kepada pasien untuk mengeskpresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marah.
      4. Catat apakah pasien menunjukkan daerah yang sakit atau pasien mengingkari daerah tersebut dan mengatakan hal tersebut telah mati.
      5. Akui pernyataan perasaa pasien tentang pengingkaran terhadap tubuh, tetap pada kenyataan bahwa pasien masih dapat menggunakan bagian tubuhnya yang sakit.
      6. Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun baik mengenai penyembuhan fungsi tubuh atau kemandirian pasien.
      7. Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
      8. Dorong orang terdekat agar memberi kesempatan kepada pasien melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.
      9. Beri dukungan terhadap usaha setiap peningkatan minat atau partisipasi pasien dalam kegiatan rehabilitasi.
      10. Berikan penguat terhadap penggunaan alat-alat adaptif.
      11. Kolaborasi : rujuk pada evaluasi neuropsikologis dan konseling sesuai kebutuhan.
  6. Perubahan persepsi sensori berhubugnan dengan stres psikologis (penyempitan lapang perseptual yang disebabkan oleh ansietas)
    1. Intervensi :
      1. Evaluasi terhadap adanya gangguan penglihatan. Catat adanya penurunan lapang pandang, perubahan ketajaman persepsi, adanya diplobia.
      2. Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal, biarkan lampu menyala, letakkan benda dalam jangkauan lapang penglihatan yang normal, tutup mata yang sakit jika perlu.
      3. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan.
      4. Kaji kesadaran sensorik, seperti membedakan panas atau dingin, tajam atau tumpul, posisi bagian tubuh atau otot, rasa persendian.
      5. Berikan stimulus terhadap rasa atau sentuhan
      6. Lindungi pasien dari suhu yang berlebihan
      7. Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu.
      8. Observasi respon perilaku pasien seperti rasa permusuhan, menangis, efek tidak sesuai, agitasi, halusinasi.
      9. Hilangkan kebisingan atau stimulasi eksternal yang berlebihan sesuai kebutuhan.
      10. Bicara dengan tenang, perlahan dengan menggunakan kalimat yang pendek, pertahankan kontak mata (Doenges, 2000).
  7. Resiko tinggi terhadap cidera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang motorik atau persepsi.
    1. Intervensi :
      1. Lakukan tindakan yang mengurangi bahaya lingkungan : orientasi pasien dengan lingkungan sekitarnya, instruksikan pasien untuk menggunakan bel pemanggil untuk meminta bantuan, pertahankan tempat tidur dan posisi rendah dengan atau semua bagian pengaman tempat tidur terpasang.
      2. Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum digunakan dengan menggunakan termometer bila ada.
      3. Kaji ekstremitas setiap hari terhadai cidera yang tidak terdeteksi.
      4. Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit dilemaskan dengan lotion
      5. Konsul dengan ahli terapi dengan pelatihan postur.
      6. Ajarkan pasien dengan keluarga untuk memaksimalkan keamanan di rumah (Carpenito, 1999).
  8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak mengenal sumber dan informasi.
    1. Intervensi :
      1. Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pada pasien.
      2. Diskusikan rencana untuk memenuhi perawatan diri.
      3. Identifikasi faktor resiko (seperti hipertensi, merokok, aterosklerosis, dan lain-lain) dan perubahan pola hidup yang penting.
      4. Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan kontrol secara menerus (Doenges, 2000)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.
  2. Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
  3. Hudak, C.M., Gallo, B.M., 1986, Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik, EGC, Jakarta.
  4. Long, B.C., 1996, Perawatan Medikal Bedah, Yayasan Ikatan Alumni, Pendidikan Keperawatan, Padjajaran, Bandung.
  5. Lumban Tobing, S.M., 1998, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  6. Price, S.A., dan Wilson, L.M, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.

0 comments:

Posting Komentar