Infolinks In Text Ads

MANAJEMEN LUKA TIME APPROACH

Luka bukan hanya masalah ‘lubang pada kulit’ tapi lebih dari itu ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai tujuan tertutupnya ‘lubang’ tersebut. Untuk itu perlu sebuah pendekatan sistematis dalam mendesain kerangka kerja agar tujuan penyembuhan luka dapat tercapai.

Falanga (2004) mengembangkan kerangka kerja yang dikenal sebagai TIME untuk mendukung pendekatan yang lebih komprehensif dalam perawatan luka kronik. Istilah ini kemudian dimodifikasi eleh European Wound Management Association WBP Advosory Board untuk memaksimalkan penggunaannya agar lebih universal. Adapun kerangka kerja TIME adalah sebagai berikut:

T : Tissue Management.

I : Inflammation and infection control.

M : Moisture balance.

E : Epithelial (edge) advancement.

A. TISSUE MANAGEMENT

Tissue management atau manajemen jaringan luka ditujukan untuk menyiapkan bantalan luka. Oleh karena itu dipandang perlu untuk segera melakukan debridement untuk mengangkat jaringan nekrotik dan slough. Debridement dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, yaitu:

1. Autolytic debridement.

Debridement autolitik didasarkan pada kemampuan macrofag untuk memfagositosis debris dan jarngan nekrotik. Penggunaan Hydrocoloids dan hydrogels digunakan secara luas untuk mendukung lingkungan yang lembab yang akan meningkatkan aktifitas makrofag. Alginat juga dapat digunakan untuk mendukung suasana lembab.

2. Biological debridement.

Maggots atau belatung berasal dari larva lalat lucilia sericata yang mensekresikan enzim yang dapat memecah jaringan nekrotik menjadi semi-liquid form (lunak) sehingga dapat dicerna oleh belatung dan hanya meninggalkan jaringan yang sehat (Thomas, 2001).

3. Enzymatic debridement.

Debridemen enzimatik juga dapat mendukung autolysis sontohnya penggunaan enzym seperti elastase, collagenase, dan fibrinolysin. Enzim-enzim tersebut dapat melepaskan ikatan jaringan nekrotik terhadap bantalan luka (Douglass, 2003).

4. Mechanical debridement.

Metode mechanical debridement antara lain; wet-to-dry dressing dengan menggunakan kasa yang dilembabkan dengan NaCL kemudian ditempelkan pada luka dan dibiarkan mengering, setelah itu diangkat. Cara ini dapat mengangkat slough dan eschar ketika balutan luka diganti namun efek negatifnya menimbulkan nyeri pada pasien dan dapat merusak jaringan yang baru. Irigasi dengan tekanan tinggi juga dapat digunakan dan efektif untuk jumlah bakteri pada luka dibanding dengan mencuci luka dengan cara biasa.

5. Sharp atau Surgical debridement.

Merupakan metode debridement yang paling cepat namun tidak cocok untuk semua jenis luka (utamanya luka dengan perfusi jelek) selain itu sharp/surgical debridement dapat menimbulkan resiko perdarahan, oleh karena itu harus dilaksanakan oleh petugas yang telah kompeten, terlatih dan profesional (Faibairn, et el., 2002).

B. INFLAMMATION AND INFECTION CONTROL

Luka kronik selalu dianggap terkontaminasi sehingga terjadi kolonisasi bakteri yang pada akhirnya akan mengakibatkan infeksi. Sibbald (2002) menggambarkan pentingnya mempertahankan keseimbangan bakteri ketika luka terkontaminasi atau terkolonisasi oleh bakteri tapi tidak mengganggu proses penyembuhan. Jika luka tidak sembuh dengan penggunaan topical therapy, penggunaan antibiotic sistemik dapat dipertimbangkan, utamanya jika terjadi infeksi jaringan dalam.

Schultz et al. (2003) menekankan pentingnya debridement sebab dapat mengurangi jumlah bakteri dengan mengangkat jaringan yang mati. Penggunaan belatung untuk debridement juga sangat berguna bahkan dapat mencerna dan menghancurkan bakteri, termasuk MRSA (Thomas, 2001).

Untuk pengunaan antiseptic topical seperti slow-release silver dan iodine hanya menunjukkan efektifitas dalam dua minggu (Edmonds et al., 2004;Moffat et al., 2004). Topical antibiotic sangat tidak direkomendasikan karena resiko resistensi.

C. MOISTURE BALANCE

Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit, sedang, hingga banyak. Luka dengan eksudat yang banyak dapat menyebabkan maserasi pada kulit sekitar luka dilain pihak luka dengan eksudat sedikit atau tidak ada dapat menjadi kering. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan kelembaban pada luka. Untuk menjaga keseimbangan kelembaban (moisture balance) pada luka maka dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Untuk luka dengan eksudat yang sangat banyak, gunakan balutan yang memiliki daya serap yang tinggi. Contohnya alginate, foams, dan hydrofiber dressing. Bila tidak ada dapat dimodifikasi misalnya penggunaan pampers dan pembalut.

2. Untuk luka dengan eksudat yang produktif seperti sinus dan fistula, dapat digunakan ‘system kantong’ untuk menampung eksudat. ‘system kantong’ dapat mencegah resiko kontaminasi kulit sekitar luka (yang mungkin masih sehat) dari eksudat, volume dan warna eksudat dapat dipantau, dan bau eksudat dapat dikontrol. Untuk aplikasi ‘system kantong’ dapat digunakan stoma bag, urostomy bag, fistula bag, atau bila tidak ada dapat digunakan ‘parcel dressing’.

Apapun metode yang digunakan untuk menciptakan moisture balance, yang paling penting adalah perawatan kulit sekitar luka. Eksudat yang berlebihan dapat menimbulkan maserasi atau dermatitis irritant (Cutting & White, 2002).

D. EPHITELIAL (EDGE) ADVANCEMENT

Penyembuhan luka bukan hanya menyiapkan bantalan luka, tapi yang juga tak kalah penting adalah menyiapkan tepi luka (wound edge). Selama ini dalam perawatan luka kita hanya berfokus pada lukanya dan mengabaikan perawata kulit sekitar luka. Tepi luka yang berwarna pink merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang menebal atau tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang kurang baik.

Untuk perawatan tepi luka dapat dilakukan dengan mengontrol eksudat agar tidak mengenai tepi luka, memberi kelembaban pada kulit sekitar luka dapat menggunakan skin tissue, skin lotion, dll.

Referensi

    Carol Dealey (2005): The wound care of wounds: a guide for nurses, Blackwell Publishing Ltd.
    Saldy Yusuf (2008): Panduan Praktis Perawatan Luka: an evidence approach for wound healing. STIKes Bina Bangsa Majene.

0 comments:

Posting Komentar